TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Dukungan Forum Masyarakat Statistik (FMS) Indonesia pada pemanfaatan Big Data - Mobile Positioning Data) oleh BPS (Badan Pusat Statistik) diapresiasi GIPI, Gabungan Industri Pariwisata Indonesia.
Meskipun, pola penghitungan Wisatawan Mancanegara (Wisman) dengan teknologi seluler ini baru diterapkan di bulan Oktober, November, Desember 2016 pada 19 Kabupaten, 46 Kecamatan, di Pos Lintas Batas atau kawasan perbatasan dengan negara tetangga.
Didien Djunaedi, Ketua GIPI menyebut penggunaan teknologi itu pasti lebih akurat, cepat, mudah dan murah dibandingkan dengan metode sampling atau survey. Karena yang tercatat oleh mesin semua orang, mirip sensus, dan tidak ada campur tangan orang.
“Ini yang membuat trust, membangun kepercayaan pelaku bisnis Pariwisata. Mereka tidak salah mengambil keputusan, karena membaca data yang akurat,” ungkap Didien Djunaedi.
Pemanfaatkan Big Data dalam sector Pariwisata itu, lanjut Didien, sudah diterapkan di beberapa Negara Eropa. Contohnya Estonia, sudah melakukan pencataan dengan Mobile Positioning Data (MPD) sejak 2009, atau 8 tahun silam.
Sebab, pemberlakuan Schengen Visa di Uni Eropa, menjadikan pergerakan wisatawan antar Negara Eropa sendiri menjadi tidak signifikan, karena tidak ada pemeriksaan imigrasi di lintas batas lagi. Teknologi, bisa dengan mudah mencatat pergerakan antarwarga Negara di Eropa dan diakui akurat.
Belgia, Irlandia, Spanyol, dan Belanda sudah melakukan pilot studi data roaming (di bawah Eurostat Pilot Project). Hal yang sama juga dilakukan di Oman, Eni Emirat Arab yang juga terdiri dari beberapa Negara, Tanzania, dan Filipina, di bawah ITU Project).
“Alhamdulillah, Indonesia juga sudah dimulai sejak 2016, persisnya bulan Oktober, November, Desember 2017. Khususnya di pos-pos lintas batas yang masih belum memiliki TPI – Tempat Pemeriksaan Imigrasi,” jelas Didien.
Didien yang lebih dari 30 tahun bergerak di sektor pariwisata bahari itu menyadari, Indonesia sangat luas. Geografis dan prasarana yang ada belum cukup untuk mencover daerah perbatasan, seperti di Pulau Kalimantan bagian Utara, Papua bagian Timur, dan Pulau Timor.
Belum lagi perbatasan di laut, yang jauh lebih sulit, yang menyebabkan data administrasi wisatawan mancanegara ke Indonesia (khususnya di perbatasan darat/laut) cenderung underestimate.
Untuk mengurangi underestimate tersebut, BPS dan Kemenpar melakukan survei lapangan di perbatasan darat (Pos Lintas Batas-PLB) dan yang belum ada pencatatan Imigrasinya/Non TPI (Tempat Pemeriksaan Imigrasi) sejak Januari 2016. Hasil survey ini digunakan untuk memperbaiki data tahun 2015 dan berlanjut terus sampai sekarang.
Sama dengan M Iksan, Wakil Ketua Forum Masyarakat Statistik yang mendorong penggunaan Big Data, Didien juga antusias pemanfaatkan data itu.
Apalagi, ini segaris dengan Renstra BPS 2015-2019, yang akan memanfaatkan Teknologi Informasi di semua aspek kegiatan statistik yang memungkinkan peningkatan kualitas data statistic.
Dalam survey BPS-Kemenpar itu menemukan bahwa masih banyak area lintas batas yang tidak terjangkau survey, sehingga dibutuhkan estimasi minimalis. Lalu, biaya survey cukup besar, menghabiskan waktu dan tenaga. Untuk itu, perlu terobosan perbaikan data administrasi pelintas batas.