Jika sebelumnya Arief lebih sering bolak-balik Garut-Bandung, sejak mendirikan Sampireun praktis ia menetap di Garut. Yang unik, sewaktu mendirikan Sampireun, ternyata awalnya Arief tidak mengajukan IMB.
“Karena tempat ini bukan tempat untuk wisata, makanya saya pikir perlu mendekati masyarakat sekitarnya,” kenang dia.
Menurutnya, jika mengurus IMB dulu, ia perlu mengurus izin ke berbagai pihak, dari mulai pemegang saham, alim ulama, hingga ke pemerintah setempat.
Ternyata, begitu pemerintah setempat melihat tindakannya ini bisa mendatangkan turis, praktis izin sudah di tangannya.
Bahkan, pembukaan Kampung Sampireun dilakukan oleh Menteri Pariwisata waktu itu, Marzuki Usman. Dengan tarif paling murah Rp 1,6 juta semalam, tingkat okupansi Sampireun di akhir pekan bisa mencapai 95%.
Tak perlu heran, hanya dalam waktu 3 tahun Sampireun sudah balik modal.
Saat menetap di Garut, Arief melihat ada banyak kekayaan kuliner tradisional di sekitar kampung yang belum terangkat.
“Saya berpikir bagaimana mengemasnya? Tidak hanya berjualan tapi juga menyatu dengan kultur,” tandasnya.
Dari ide tersebut, Arief pun mendirikan Restoran Bumbu Desa tahun 2004 dengan modal sekitar Rp 2,5 miliar. Sang ibu membantu penuh Arief untuk urusan menu.
“Kebetulan ibu asli Garut, jadi ini sebagai wujud apresiasi saya terhadap jagoan-jagoan masak tempo dulu,” ucap dia.
Sebagai pemanis, Bumbu Desa tidak hanya menyajikan sajian menu Sunda, melainkan juga pelayanan khas Sunda, seperti ucapan wilujeng sumping yang berarti selamat datang, hingga hatur nuhun alias terimakasih. “Sapaan itu yang membuat kami beda dengan yang lain,” cetusnya.
Bumbu Desa terus berkembang
Hanya dalam waktu 1,5 tahun, investasi Arief di Bumbu Desa sudah balik. Arief bahkan berhasil melebarkan sayap. Ia mendirikan cabang di Surabaya.
Ternyata usahanya terus berkembang dan kini sudah mencapai 8 gerai di seluruh Indonesia dengan rata-rata pengunjung mencapai 600 orang per hari per gerai.