News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tanpa Santan, Laksa dari Pancoran Petak Enam Ini Padukan Cita Rasa Melayu dan Tionghoa

Penulis: Choirul Arifin
Editor: Anita K Wardhani
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ruth Gabriel, pemilik sekaligus chef Laksatiam.

Laporan Wartawan Tribunnews, Choirul Arifin

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bagi banyak warga Indonesia yang gemar jalan-jalan ke Singapura, kuliner yang tak pernah ketinggalan untuk dinikmati adalah laksa. Makanna ini disuka karena citarasa kuah yang nikmat dan gurih.

Selain di Singapura, laksa juga menjadi kuliner populer di Malaysia dan Indonesia.

Setiap daerah dan negara menawarkan citarasa laksa dengan varian dan sentuhannya sendiri.

Citarasa laksa lezat ini di sebuah lapak laksa di Pancoran Petak Enam di kawasan Glodok, Jakarta Pusat ini beda. Tanpa santan, paduan Melayu Tionghoa.

Tapi semuanya menawarkan esensi yang sama, yakni semangkuk kaldu lezat yang disajikan dengan mie gurih, daging atau makanan laut, serta beragam bumbu rempah yang menggoda indra penciuman dan pengecap.

Pada perkembanganya, komponen mie pada laksa dapat diganti dengan bihun.

Di balik setiap kuliner legendaris seperti laksa juga tersembunyi kisah yang mengajak penikmatnya untuk merasakan budaya dan tradisi yang hidup di baliknya.

Tribunnews berkesempatan mencicipi citarasa laksa lezat ini di sebuah lapak laksa di Pancoran Petak Enam di kawasan Glodok, Jakarta Pusat.

Di kedai bernama Laksatiam ini citarasa laksa yang dihadirkan merupakan paduan Melayu dan Tionghoa.

Elemen seafood-nya terdiri dari isian bakso ikan dan telur serta udang dengan aroma kaldu yang harum dan hangat menyeruak, wangi kaldu yang sarat dengan rempah pilihan.

Untuk kuahnya, laksa di sini tidak menggunakan santan. Meski tanpa santan, gurihnya cukup terasa pas di lidah. Bihunnya cukup lembut hingga mudah dikunyah, bakso ikannya pun kenyal memanjakan mulut.

Bakso ikannya memiliki sensasi kenyal ketika dikunyah di mulut berpadu dengan rasa gurih dan manis dari potongan daging atau makanan laut.

Baca juga: Berburu Laksa di Hotel Santika Premiere ICE - BSD City, Rasa Autentik Kaya Rempah

Ruth Gabriel, sang pemilik sekaligus chef Laksatiam mengaku sudah sejak SMA menyukai dunia kuliner terutama laksa.

Hal itu yang melatar belakanginya untuk mendirikan restoran laksa di usianya yang masih 25 tahun. “Saya suka bikin kue-kue (pastry) di rumah, lalu dibawa ke sekolah dan dibagikan ke teman-teman,” ujarnya.

Orangtua Ruth yang melihat minatnya yang tinggi pada dunia kuliner membukakan jalan untuk merintis usaha di bidang ini. “Kalau kami senang, kamu lanjutin,” begitu pesan orangtua kepadanya yang sampai terngiang hingga sekarang.

Selepas SMA, Ruth melanjutkan belajar ke Indonesia Patisserie School dan belajar ilmu pastry. “Selama satu tahun saya belajar sampai mendapatkan sertifikat untuk membuat pastry,” ujarnya.

Dari situ, Ruth semakin jatuh cinta pada kuliner dan melanjutkan mengambil studi kuliner di Singapura. “Salah satu pertimbangannya, kurikulum di Singapura itu salah satu kuliner yang Asian Food. Rata-rata sekolah kuliner ngajarin Western atau European Food. Saya belajar semua makanan, mulai Indonesian, Malaysian, hingga Chinese Food,” bebernya.

Ruth menuturkan, sistem belajar di Singapura juga sangat ketat. “Saya sekolah dari Senin sampai Sabtu, satu tahun sekolah satu tahun lagi kerja untuk mendapatkan ijazah diploma,” ujar penyuka travelling ini.

Selain itu, pembelajarannya juga yang menekankan praktik hingga para lulusannya punya skill untuk memproses makanan mulai dari A sampai Z. “Saya bisa mengolah kambing, mulai dari menyembelih, memotong, menguliti, memisahkan daging dari tulang, hingga memotong dagingnya menjadi bahan masakan,” terangnya.

Menjelang kelulusan, Ruth mendapatkan ujian yang lumayan sulit. “Saya diminta untuk membuat makanan, jenis baru yang belum ada dan tidak boleh berasal dari negara sendiri.” Usulan makanan Ruth sempat berkali-kali ditolak. “Saya sempat berpikir, saya lulus enggak sih.”

Salah satu hidangan yang menarik perhatian Ruth adalah makanan tradisional. “Karena lebih berasa. Rendang padang lebih enak dong daripada steak yang cuma pakai lada dan garam,” katanya sambil tergelak.

Berbagai jenis laksa, diantaranya Laksa Betawi .

Selain itu, cara mengolah makanan tradisional termasuk makanan khas Indonesia, perlu kecermatan. ”Kalau tidak mengerti cara mengolahnya, hasilnya tidak akan enak. Rempah-rempah itu rasanya bisa jadi pahit,” tutur alumni SMP dan SMA IPEKA Tomang, Jakarta, ini.

Di antara berbagai makanan tradisional, ia jatuh hati pada laksa. “Laksa itu makanan favorit Mama saya, hingga saya membuatnya sendiri untuk membuatnya,” ujarnya.

Tidak mudah baginya untuk menemukan resep rahasia sekaligus bisa disukai para pelanggan. “Butuh waktu setahun untuk menemukan resep laksa enak hasil ramuan saya sendiri.”

Setelah itu, dia membuka resto untuk berjualan laksa dan aneka hidangan lain. “Semua makanan yang ada disini pernah saya jual secara online lewat PO saat jaman covid,” jelasnya.

Menurut Ruth, nama Laksatiam yang dia pakai terdiri dari paduan dua kata yaitu Laksa dan Tiam (kopi). Resto berukuran tidak terlalu besar ini menyediakan aneka menu penggugah selera.

Di antaranya Laksa Seafood dan Laksa Chicken dengan isian mi dan bihun. Tidak seperti laksa di Singapura atau Indonesia, laksa di sini tidak menggunakan santan namun diganti dengan susu yang lebih sehat dan rendah kolesterol. Juga ada Meepok yang merupakan sajian mi lembut dengan toping bakso ikan yang terkenal di Singapura.

Dia juga menyediakan pilihan menu nasi seperti Chicken Curry, Orange Chicken dan Salted Egg. Juga ada cemilan Chicken Puff yang berisi olahan daging ayam juga Peanut Butter Toast dan Kaya Toast dengan telur setengah matang di tengahnya.

Dia membanderol menu-menu minuman seperti Kopi Hitam, Kopi Susu, Teh Susu dengan pilihan panas dan dingin mulai dari Rp 12 ribu hingga 42 ribu rupiah.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini