Oleh : Toni Ervianto *)
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kerusuhan yang terjadi di Lapas Tanjung Gusta, Medan, Sumatera Utara tidak hanya menjadi keprihatinan nasional, namun tidak luput dari sorotan pemberitaan media massa asing, termasuk media massa sosial. Kerusuhan ini sekali lagi mencoreng muka Indonesia, sebagai salah satu bangsa yang mudah sekali disulut emosi walaupun tengah berada di bulan suci.
Kerusuhan di Lapas Tanjung Gusta Medan yang terjadi pada 11 Juli 2013 telah menyebabkan sekitar 240 orang narapidana kabur termasuk didalamnya 5 narapidana kasus teroris yang sampai 14 Juli 2013 belum berhasil ditangkap kembali (ada informasi lainnya yang menyebutkan ada 22 orang teroris yang masih dalam pengejaran aparat kepolisian akibat kabur saat kerusuhan LP Tanjung Gusta). Kerusuhan tersebut juga merenggut nyawa 2 orang sipir dan 3 orang tahanan.
Beberapa berita di media massa menyebutkan bahwa pemicu terjadinya kerusuhan di LP Tanjung Gusta ini disebabkan karena pasokan listrik dan air yang kurang mencukupi. Disamping itu, LP ini juga mengalami over capacity disebabkan LP ini seharusnya hanya mampu menampung 1.054 orang, tapi faktanya dihuni 2.600 orang tahanan sehingga overloaded sebanyak 240%.
Dalam rapat mendadak di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta pada 13 Juli 2013, Presiden SBY kurang puas dengan laporan yang menyebabkan penyebab kerusuhan hanya karena kurangnya pasokan air dan listrik saja, sehingga menugaskan Kapolri membentuk tim untuk menginvestigasinya.
Menurut penulis, pernyataan SBY di rapat tersebut harus juga diterjemahkan sebagai “perintah atau essential element of information” yang juga harus dijawab oleh jajaran intelijen.
Sebelumnya, pada akhir tahun 2012, Kementerian Hukum dan HAM merilis data bahwa kapasitas LP atau rumah tahanan yang ada di Indonesia hanya mampu menampung tahanan sebanyak 102.466 orang, namun jumlah napi sekarang ini mencapai 152.071 orang atau kelebihan kapasitas sebesar 50%.
Berdasarkan data dari Dirjen Pemasyarakatan Kemenkumham sampai Juli 2013, ada beberapa LP yang mengalami over kapasitas yaitu LP Kelas I Tangerang dengan kapasitas 800 orang, namun dihuni 1.437 orang tahanan, LP Kelas I Cipinang dengan kapasitas 880 orang, namun dihuni 2.933 orang, LP Kelas II Salemba dengan kapasitas 572 orang, dihuni 1.917 orang, LP Kelas II A Karawang dengan kapasitas 590 orang, dihuni 1.102 orang, LP Kelas II Cibinong dengan kapasitas 924 orang, dihuni 1.215 orang, LP Kelas I Semarang dengan kapasitas 530 orang, dihuni 1.204 orang, LP Kelas I Madiun dengan kapasitas 536 orang, dihuni 1.473 orang, LP Kelas I Medan dengan kapasitas 700, dihuni 3.082 orang, LP Kelas II Lubuk Pakam dengan kapasitas 350 orang, dihuni 1.022 orang, LP Kelas II A Pekanbaru dengan kapasitas 361 orang, dihuni 1.581 orang, LP Kelas I Palembang dengan kapasitas 540 orang, dihuni 1.136 orang, LP Kelas II A Banjarmasin dengan kapasitas 366 orang, dihuni 2.411 orang.
Rutan Kelas I Surabaya dengan kapasitas 504 orang, dihuni 1.695 orang dan Rutan Kelas I Medan dengan kapasitas 1.054 orang, dihuni 2.600 orang.
Langkah Pembenahan
Pernyataan Presiden SBY yang menyatakan dirinya tidak puas dengan laporan bahwa penyebab kerusuhan di Lapas Tanjung Gusta, Medan karena kekurangan air dan listrik, secara tidak langsung harus diterjemahkan kepala negara mengendus adanya unsur-unsur politis atau design scenario terkait masalah ini.
Kemungkinan seperti ini sangat besar, apalagi menurut pengakuan Presiden, dirinya mendapatkan informasi awal dari kerusuhan tersebut dari kalangan media massa nasional dan internasional dan beliau menyesalkan lambatnya “official statement” terkait masalah tersebut.
Menurut Koalisi Masyarakat Sipil berharap insiden yang terjadi di Lapas Tanjung Gusta jangan sampai ditunggangi koruptor, sehingga seolah-olah ketika koruptor tidak memperoleh remisi maka akan terjadi keributan dan kekacauan di LP-LP. Peneliti ICW Tama S. Langkun berpendapat masalah yang terjadi di LP Tanjung Gusta diakibatkan oleh faktor-faktor yang kompleks dan harus ditelusuri lebih mendalam ketimbang memberikan kesimpulan yang mengada-ada.
Sementara itu Koordinator Bidang Hukum dan Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Juntho menilai ada tiga upaya yang dilakukan pihak-pihak yang ingin menggagalkan upaya pemberantasan korupsi dengan mempersoalkan keberadaan PP 99/2012. Pertama, melalui serangan politik dengan mendekati anggota-anggota parlemen untuk memfasilitasi keberatan mereka. Kedua, melalui serangan hukum melalui judicial review. Ketiga, serangan keamanan di lapangan seperti kejadian LP Tanjung Gusta.