News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Satinah Divonis Hukuman Mati

Negara Bertanggungjawab atas Ancaman Hukuman Mati Satinah

Editor: Rachmat Hidayat
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Foto aktivis organisasi buruh dan lembaga non pemerintah serta warga melakukan aksi bebaskan Satinah, tenaga kerja wanita yang terancam hukuman mati di Arab Saudi, di bundaran HI, Jakarta Pusat, Selasa (1/4/2014). Aksi yang diisi dengan menyalakan lilin dan doa bersama ini untuk mendesak pemerintah Indonesia membebaskan Satinah serta 265 buruh migran Indonesia yang terancam hukuman mati. TRIBUNNEWS/HERUDIN

Oleh:  Wahidah Rustam, Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ancaman hukuman mati kembali dialami buruh migran Indonesia khususnya buruh migran perempuan.

Berbagai situasi dan kondisi kerja tidak layak bahkan sarat akan kekerasan, tekanan fisik dan psikis, penganiayaan,  ancaman kekerasan, ketidaktahuan tehadap hukum dan budaya Negara tujuan jadi pemicu yang menempatkan Buruh Migran menghadapi ancaman hukuman mati.
 
Satinah, salah satu buruh migran perempuan yang mengalami ancaman hukuman mati atas tuduhan pembunuhan terhadap majikan perempuannya. Satinah terpaksa membunuh karena tak terima dituduh mencuri uang sang majikan, sering dianiaya dan mengalami kekerasan yang dilakukan oleh majikan.

Sayangnya pembelaan dan pendampingan yang dilakukan pemerintah tidak maksimal. Satinah bahkan harus  menjalani lima kali sidang tanpa adanya pendampingan dan bantuan hukum oleh pemerintah Indonesia.

Ini menunjukkan upaya pemerintah dalam melindungi hak buruh migran perempuan belum maksimal.

Pemerintah penting memahami bahwa perlindungan buruh migran perempuan dari ancaman hukuman mati bukan hanya persoalan Diyat, melainkan persoalan ketidakadilan yang dialami oleh buruh migran perempuan menjadi hal utama dalam perlindungan hak buruh migran perempuan.
 
Membayar diyat tidak dapat dilakukan terus menerus, tetapi melakukan diplomasi politik dan membangun mekanisme perlindungan yang komprehensif bagi buruh migran Indonesia dari berbagai kekerasan, pelanggaran hak, termasuk ancaman hukuman mati.merupakan kewajiban dan tanggung jawab Negara/pemerintah.  
 
Satinah bukan Buruh Migran pertama yang mengalami ancaman hukuman mati. Berbagai data menunjukan bahwa hingga tahun 2014 jumlah ancaman hukuman mati yang dialami Buruh Migran mencapai 265.

Persoalan ini menunjukan bahwa mekanisme dan sistem migrasi dan perlindungan bagi Buruh Migran tidak terbangun dengan baik. Lambatnya pendampingan dan penanganan kasus oleh

Pemerintah,  turut memiliki andil atas banyaknya buruh migran, terutama yang mengalami kekerasan dan pelanggaran hak termasuk kriminalisasi dan ancaman hukuman mati.
 
Berdasarkan pengalaman Solidaritas Perempuan (SP) dalam menangini kasus buruh migran perempuan, pemerintah seringkali kecolongan terhadap kasus-kasus yang tengah berjalan.

Sebut saja Rosita, Buruh Migran Perempuan asal Karawang yang juga pernah terancam hukuman pancung karena dituduh membunuh temannya sesama pekerja rumah tangga. Pemerintah baru mengetahui adanya kasus Rosita setelah satu tahun kasus tersebut berjalan dengan telah menjalankan tiga kali sidang.
 
Rosita mengalami berbagai bentuk kekerasan selama didalam tahanan/penjara. Selama berhari-hari, Rosita tidak diperbolehkan tidur, tidak dibolehkan melakukan komunikasi dengan pihak pemerintah Indonesia, bahkan Rosita diintimidasi dan dipaksan mengakui pembunuhan yang tidak dilakukannya..
 
Kasus lain yang ditangani oleh SP yaitu kasus Warnah (30 tahun) dan Sumartini (38 tahun), yang harus menghadapi ancaman hukuman mati akibat tuduhan sihir.

 Ia sempat ditanam setengah badan di dalam pasir dan dipaksa mengakui melakukan sihir yang tidak dilakukannya. Hingga saat ini keduanya masih mendekam di penjara Maalaz Arab Saudi karena pengadilan pada akhirnya memutuskan 10 tahun penjara dan cambuk.

Hingga saat ini, SP terus menangani kasus dan menuntut pemerintah Indonesia untuk berupaya lebih maksimal dalam membebaskan Sumartini dan Warnah dari hukuman 10 tahun penjara dan cambuk.
 
Di sisi lain, banyak kasus Buruh Migran Perempuan yang meninggal di Negara tujuan. Salah satunya,  Nani Suryani (27 tahun), Buruh Migran Perempuan (BMP) asal Karawang yang kembali ke Indonesia dengan jasad yang tidak bernyawa. Nani meninggal akibat pembunuhan yang dilakukan majikannya.

 Namun, sampai saat ini hak-hak keluarga Almh, Nani tidak terpenuhi, bahkan prosesnya sangat lambat dan berlarut-larut.. Hingga saat ini keluarga Nani masih menunggu berita keputusan persidangan Arab Saudi, agar keluarga mendapatkan hak-haknya atas pembunuhan yang dilakukan oleh majikan.
 
Kekerasan dan pelanggaran hak buruh migran yang terjadi, menunjukkan bahwa sistem dan mekanisme perlindungan BMP yang diatur dalam Konvensi Migran PBB 1990 dan CEDAW tidak berjalan maksimal.
 
Kasus-kasus di atas menunjukkan bahwa terjadi diskriminasi terhadap penyelesaian dan penanganan kasus tuduhan pembunuhan terhadap buruh migran perempuan dengan buruh migran perempuan yang dibunuh.

Artinya terjadi pembedaan perlakukan terhadap Buruh Migran Indonesia dengan warga di Negara Tujuan. 
 
Negosiasi politik pemerintah Indonesia dengan pemerintah Negara tujuan buruh migran (arab Saudi) terhadap kasus hukuman mati yang dialami buruh migran, memperlihatkan posisi tawar pemerintah Indonesia sangat lemah.

Lemah dalam membela dan melindungi hak-hak buruh migran. Pemerintah tidak melakukan tekanan kuat terhadap pemerintah Arab Saudi atas kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran yang dialami Buruh MIgran Perempuan di Arab Saudi.
 
Kasus Satinah dan Nani merupakan fakta atas lemahnya posisi tawar pemerintah Indonesia. Satinah hanya bisa diselamatkan dengan membayar diyat Rp. 21 M, sementara keluarga Nani yang menuntut Rp. 1 M, tidak dapat diperjuangkan oleh pemerintah Indonesia.

Kemenlu berdalih dengan alasan uang diyat korban perempuan hanya SAR 200.000 (sekitar Rp. 609.000.000) walaupun tindakan majikan Nani tersebut menyebabkan hilangnya nyawa seseorang.
 
MoU Indonesia Arab Saudi
UU No.39 Tahun 2004 memuat ketentuan bahwa Penempatan TKI di luar negeri hanya dapat dilakukan ke negara tujuan yang pemerintahnya telah membuat perjanjian tertulis dengan
Pemerintah Republik Indonesia atau tenaga kerja asing.

Namun, penempatan Buruh Migran Indonesia ke Arab Saudi telah berlangsung bertahun-tahun tanpa adanya perangkat peraturan tersebut.
 
19 Februari lalu, akhirnya Indonesia memiliki Memorandum of Understanding (MoU) dengan Arab Saudi. MoU tersebut mengatur sejumlah kewajiban bagi kedua belah pihak (Indonesia dan Arab Saudi) untuk Penempatan dan Perlindungan Buruh Migran Indonesia yang bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga.

 Di dalamnya termasuk kewajiban Arab Saudi untuk menginformasikan buruh  migran yang ditangkap, dipenjara, atau ditahan di Arab Saudi.
 
Sayangnya belum terlihat adanya mekanisme yang mampu mencegah penghentian kekerasan dan pelanggaran hak-hak  buruh migran. Padahal, tindak kekerasan yang dilakukan buruh migran Indonesia seringkali terpaksa dilakukan untuk membela diri dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh majikan atau pihak lainnya.

Kondisi kekerasan yang dialami buruh migran diperparah dengan terisolasinya buruh migran dari lingkungan luar terutama di Arab Saudi.

Mereka seringkali tidak diperbolehkan ke luar rumah dan dilarang berkomunikasi, sehingga tidak mempunyai akses untuk mengadukan tindakan kekerasan dan pelanggaran hak yang dia alami.
 
MoU  yang dilakukan pemerintah Indonesia dan Arab Saudi, hanya bersifat kesepakatan tanpa adanya mekanisme yang tegas dalam bentuk sanksi yang memastikan ketentuan-ketentuan di dalam kesepakatan tersebut dijalankan oleh kedua Negara.
 
Kondisi yang dialami oleh Buruh Migran, khususnya perempuan,  tidak hanya terjadi di Negara tujuan, tetapi juga banyak terjadi di Negara asal, yaitu Indonesia. Karena itu, SP secara terus menerus memperjuangkan dan menyuarakan berbagai kekerasan dan pelanggaran hak yang dialami buruh migran dan keluarganya.

 Ratifikasi Konvensi Migran 1990 dan CEDAW harus diikuti dengan harmonisasi peraturan perundang-undangan lainnya, agar perlindungan dan pemenuhan hak Buruh Migran dan keluarganya dapat terwujud.
 
Untuk itu, Solidaritas Perempuan menuntut pemerintah untuk segeramewujudkan perlindungan yang komprehensif bagi Buruh Migran dan keluarganya dengan:

1.     Bahas dan sahkan Revisi UU No 39 Tahun 2004 dengan menjamin hak-hak Buruh Migran sebagaimana termuat di dalam Konvensi Migran 90, CEDAW, dan Konvensi ILO No. 189
2.     Ratifikasi Konvensi ILO No. 189 tentang Kerja Layak PRT
3.     Bahas dan sahkan UU Perlindungan PRT yang mengaku Pekerja Rumah Tangga sebagai Pekerja dengan hak-hak dan kondisi kerja layak, serta benar-benar melindungi Pekerja Rumah Tangga baik di dalam maupun di luar negeri
4.     Membangun mekanisme pencegahan, pengawasan dan pendampingan untuk menjamin perlindungan hak bagiBuruh Migran di dalam dan luar negeri.
5.     Penyelesaian kasus Satinah dan kasus-kasus Buruh Migran lainnya yang berhadapan dengan hukum secara tuntas dan memastikan perlindungan dan pemenuhan hak mereka terpenuhi.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini