Oleh: Dody Susanto
Direktur Klinik Pancasila
Pilihan mengkreasi cara-cara publik memanfaatkan waktu akan menentukan kualitas peradapan suatu bangsa.
Bangsa yang menuju peradaban yang efisien cenderung gandrung pada nilai-nilai yang humanistik.
Kemampuan mengenali kebutuhan hakiki antar manusia yang disusun dengan bata-bata kehidupan interaksi memberi peluang sebuah bangsa pada tahapan puncak-puncak kebahagiaan.
Protes yang terjadi oleh sebagian manusia atas bertumpuknya kemacetan dijalan, pembangunan mall-mall yang mengikis ruang terbuka hijau, penggunaan sarana IT yang menggerus kontak fisik antar manusia adalah sederetan noktah-noktah peradaban yang merupakan refleksi cita rasa manusia pada zamannya.
Kehadiran gagasan revolusi mental sangat layak dianjungkan untuk menggeser perilaku belanja materi menuju belanja pengalaman.
Dalam frame work belanja materi, lingkungan menjadi keras karena artefak-artefak beton mall dan gedung-gedung menciptakan kekerasan simbolik yang berkontribusi pada disharmoni manusia dan lingkungannya.
Bekasi efek memberi contoh bagaimana hukum kleiber tidak berfungsi. Mark Kleiber adalah seorang ilmuwan Swiss yang pada tahun 1930an menemukan fakta yang menakjubkan tentang hukum alam, sehingga diberi nama hukum Kleber.
Hukum Kleber menyatakan bahwa laju metabolisme hewan sama dengan masa hewan tersebut dipangkatkan tiga perempat. Sederhananya hukum ini menghubungkan antara “ukuran” dan “kecepatan” suatu organisme. Kecoa yang ukurannya lebih kecil dari gajah memerlukan kecepatan metabolism yang lebih besar dari gajah (itulah mengapa kecoa larinya lebih cepat).
Hukum ini juga menyatakan meski gajah beratnya 10000 (=10000 dipangkatkan ¾) kali setara energy kelinci saja (bukan 10000 kali lipat). Hukum ini ternyata berlaku universal bagi hampir semua organisme.
Ada yang lebih mencengangkan lagi, apa yang terjadi pada organisme ternyata juga berlaku pada kota dan wilayah.
Selanjutnya Geofrey West seorang ahli fisika dari Stanford University mencoba menerapkan Hukum Kleber pada aspek pembangunan wilayah dan perkotaan. Temuannya cukup mencengangkan, ternyata Hukum Kleiber berlaku pula untuk tata kota.
Sebuah kota dengan penduduk 200 ribu misalnya, dengan Hukum Kleiber West, bisa menghitung berapa kebutuhan ruas jalan, gorong-gorong, pom bensin, mall, jumlah angkot, jaringan transfortasi, jaringan telepon, kebutuhan sanitasi dan lain sebagainya.
Sebagaimana halnya gajah, kota dan wilayah yang gendut tidak harus memerlukan sumberdaya yang eksponensial, namun akan mengikuti hukum Kleiber, yaitu hanya sekitar 85% saja sumberdaya yang dibutuhkan.
Pelajaran dari Bekasi efek, konsentrasi mall melebihi dari yang dibutuhkan dengan daya dukung wilayah telah menyebabkan ketidakefisienan dalam pemanfaatan sumberdaya.
Kehadiran “Revolusi Mental” dapat dimulai dengan kalimat motivasi “benar kita salah”. Konotasi ini akan menghadirkan semangat pembaharuan bahwa memperbaiki bukanlah kelemahan, meluruskan yang keliru bukanlah ketidakmampuan, mengkoreksi yang tidak perllu tidaklah membuat malu.
Dengan paradigm “ benar kita salah”, kita beranjak pada fase belanja pengalaman ( experiential purchasing).
James Hamblin dalam Koran The Atlantic, bertajuk “ Buy Experiences, not Things” (belilah pengalaman, bukan benda). Segaris dengan pemikiran itu,
Matthew Killingwort dan Daniel Gilbert, memaparkan bahwa “kebahagiaan” seseorang ternyata berada dalam dimensi “moment-to-moment”.
Kebahagiaan bukan diperoleh dari memiliki materi, karena materi secara intrinsic hanya memiliki nilai intrinsic semata.
Namun demikian kepemilikan terhadap benda atau materi mungkin bisa menghasilkan kepuasan. Kepuasan terhadap benda ini tidak harus datang saat benda itu diperoleh, namun pada saat antisipasi dan kenangan memperolehnya.
Berdasarkan penelitian neuro sains, otak sangat aktif ketika periode antisipasi memperoleh kesenangan dan kenangan yang terjadi setelahnya, bukan ketika memperolehnya. Belanja pengalaman seperti perjalanan, menonton pertunjukan, story talling, dongeng dan cerita antar sesame ternyata memmeberikan tingkat kepuasan yang lebih lama.
Belanja pengalaman memberikan modal sosial kepada peradaban yang egaliter. Mereka yang antri belanja pengalaman moody ternyata lebih moody dari mereka yang belanja materi.
Rujukan sehatnya, Bekasi dan kota-kota metropolitan lainnya di Indonesia yang menghadapi tantangan sejenis, memungkinkan untuk membangun peradaban experiential purchasing.
Bijak juga kita kembali kepada kehadiran kitab suci “berjalanlah kalian dimuka bumi Allah yang luas ini”, yang hikmahnya adalah “bertepuk dua tangan” yaitu harmoninya manusia dengan alam berupa bekerja dan belajar dari pengalaman. Selamat datang “Revolusi Mental”!.