News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Krisis Negarawan

Editor: Rachmat Hidayat
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ichsanuddin Noorsy

Oleh Ichsanuddin Noorsy
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - 15 tahun lalu saat banyak kalangan gegap gempita berteriak reformasi sebagai wujud semangat  berdemokrasi, saya agak terhenyak.

Ketika menjadi aktivis mahasiswa, pembelajaran mendalam yang  saya peroleh dari ragam diskusi, dialog dengan senior dan dari berbagai sumber lain adalah, demokrasi selalu berhubungan dan berpijak pada akar budaya bangsa serta tunduk pada konstitusi.

Yang membuat saya terhenyak, apakah mereka yang berjuang untuk dan atas nama demokrasi mengerti dan menjiwai ke mana arah demokrasi yang mereka maksud ? Tentu tidak ada jawaban lengkap dan sempurna.

Intinya, mereka ingin kebebasan dari belenggu sentralistik dan otoriternya rejim Soeharto, tepatnya  rejim militer. Sebelum berlanjut ke situasi sekarang, saya juga mempunyai pertanyaan lain: tidakkah di sebelah kebebasan (sosial, politik dan ekonomi) terdapat ketertiban (sosial, politik dan ekonomi).

Kenapa gegap gempita itu hanya tentang kebebasan dan tidak peduli dengan ketertiban ? Pertanyaan ini makin menguatkan keterhenyakan ketika saya mengikuti proses amandemen UUD 1945 dari tahun 2000-2001.

Pertanyaan itu pula yang membuat saya menulis artikel bertajuk Reformasi Berbuah Krisis Konstitusi Karena tema besar kesadaran akan krisis itu berwujud pada perilaku politik elit bangsa, maka saat

Koalisi Kebangsaan dan Koalisi Kerakyatan sebagai hasil Pemilu tahun 2004 mengemuka, saya bersama Revrisond Baswir menjumpai beberapa tokoh nasional.

Ada alasan penting tentang kebutuhan rujuknya beberapa tokoh nasional itu. Dijatuhkannya Presiden Abdurrahman Wahid pada 23 Juli 2001 dan proses yang menghantar Megawati Soekarno Putri dari

Wakil Presiden di Sidang Umum MPR 1999 lalu menjadi Presiden RI pada 23 Juli 2001 tentu menorehkan luka-luka politik. Luka-luka ini tidak perlu terjadi dan mungkin berpeluang membaik jika Abdurrahman Wahid sejak awal mendengar usulan saya.

Jauh sebelum tanggal dijatuhkannya, saya meminta mas Dur, demikian panggilan saya pada Gus Dur, agar mau menjadi Guru Bangsa dan memberikan kewenangan penyelenggaraan pemerintahan kepada Megawati yang waktu itu sebagai Wakil Presiden.

Selain itu saya juga mengusulkan diadakannya silaturahim kebangsaan antara tokoh-tokoh dari semua Parpol serta para ketua fraksi di DPR. Presiden Abdurrahman Wahid menolak usulan itu.

Sementara saya juga mengerti ada skenario lain atas panggung kekuasaan Gus Dur, Amien Rais sebagai Ketua MPR dan Akbar Tanjung sebagai Ketua DPR. Penolakan usulan itu memberi peluang pada saya untuk berangkat ke Washington.

Di egeri paman Sam saya berjumpa dengan tokoh politik dari Republik dan Demokrat. Dalam perjumpaan itu saya menggugat: jika demokrasi selalu berhubungan dengan filosofi dan akar budaya suatu bangsa,  kenapa AS “merekomendasikan dengan kuat dan penuh semangat” agar Indonesia menerapkan demokrasi liberal ?

Jawaban mereka tentu saja diplomatis dan diskusi menjadi tidak berujung disebabkan perbedaan filosofi dan akar budaya tentang demokrasi. Pemahaman ini yang menyemangati saya tentang betapa pentingnya beberapa tokoh nasional berjumpa karena Pemilu 2004 juga berlatar belakang penghianatan, konflik para tokoh dan berbuah krisis kepercayaan satu sama lain.

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini