TRIBUNNEWS.COM -Setiap hari langkah Presiden Jokowi semakin menjauhkan diri dari visi-misi Nawacita dalam perwujudan kehadiran negara untuk peningkatan kesejahteraan warga negara Indonesia.
Dalam pembukaan Kongres Partai Hanura di Solo, hari Jum’at 13 Februari 2015, Presiden Jokowi menyatakan akan melarang perempuan bekerja ke luar negeri sebagai Pembantu Rumah Tangga (PRT) migran ke luar negeri karena dianggap sumber masalah dan merendahkan martabat bangsa.
Secara eksplisit Presiden Jokowi memerintahkan Menaker untuk membuat road map dan target untuk menghentikan pengiriman PRT migran ke luar negeri. Statemen ini merupakan kemunduran besar bagi pemerintahan Indonesia dan bentuk pelanggaran terhadap konstitusi. Adalah hak setiap warga negara untuk mendapatkan pekerjaan secara layak dan kewajiban bagi negara untuk melindunginya dimanapun warga negara Indonesia bekerja.
Presiden Jokowi nampaknya mulai lupa bahkan mungkin sudah ingkar, bahwa dalam visi-misi Nawacita (yang jadi landasan pencalonan Jokowi sebagai calon presiden dalam Pilpres 2014) berjanji dan bertekad akan melindungi PRT migran baik di dalam maupun di luar negeri.
Presiden Jokowi juga tidak boleh lupa bahwa salah satu penyokong kemenangannya adalah pemilih Indonesia di luar negeri yang sebagian besar adalah PRT migran Indonesia.
Dalam perspektif hak asasi manusia, situasi kerentanan dan kondisi buruk yang dialami oleh PRT migran Indonesia harus dijawab dengan peningkatan kualitas perlindungan dari negara sebagai perwujudan negara hadir, reformasi total birokrasi kelembagaan di Kementerian Ketenagakerjaan dan BNP2TKI yang selama ini dikuasai oleh mafia-mafia yang mengambil keuntungan dari eksploitasi PRT migran, perubahan tata kelola penempatan PRT migran yang selama ini berbiaya tinggi menjadi tata kelola penempatan PRT migran yang berbasis pada pemenuhan hak asasi manusia dan berbiaya murah dan pengakhiran industrialisasi penempatan PRT migran yang hanya menguntungkan korporasi penempatan PRT migran dan birokrasi yang korup.
Solusi reaktif pelarangan perempuan untuk bekerja sebagai PRT migran adalah sesat pikir kebijakan yang berbasis pada cara pandang patriarkis dan diskriminatif terhadap perempuan. Ini juga memperlihatkan adanya pengkhianatan terhadap Nawacita yang seharusnya menghadirkan negara dalam perlindungan PRT migran Indonesia.
Rencana pelarangan perempuan bekerja sebagai PRT migran ke luar negeri adalah bentuk penghindaran negara dari tanggungjawab perlindungan.
Atas realitas tersebut diatas, Migrant CARE memprotes keras rencana Presiden Jokowi melarang perempuan bekerja ke luar negeri sebagai PRT migran ke luar negeri. Rencana tersebut berpotensi sebagai pelanggaran terhadap hak konstitusi warga negara Indonesia untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dan pengkhianatan terhadap visi-misi Nawacita.
Migrant CARE mendesak Presiden Jokowi lebih serius membenahi tatakelola penempatan PRT migran yang berbasis pada pemenuhan hak asasi manusia dan tidak diskriminatif pada perempuan, mengimplementasikan ratifikasi Konvensi PBB Tahun 1990 tentang Perlindungan Hak-hak Buruh Migran dan Anggota Keluarganya dalam kebijakan nasional, meratifikasi Konvensi ILO No. 189/2011 tentang Kerja Layak Bagi Pekerja Rumah Tangga dan mengajukan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga sebagai inisiatif pemerintah.
Jalan keluar mengakhiri kerentanan dan situasi buruk yang dialami PRT migran Indonesia adalah negara hadir dan melindunginya, bukan negara menghindar dan melarangnya !!
Jakarta, 14 Februari 2015
- Anis Hidayah, Direktur Eksekutif Migran Care
- Wahyu Susilo, Analis Kebijakan