Jika Menkominfo menggunakan alasan Inpres No 9 tahun 2015 tentang Pengelolaan Komunikasi Publik, dalam enam instruksi yang dikeluarkan Presiden Joko Widodo tak ada menyebut tentang isu perekrutan tenaga profesional.
Ada celah dalam instruksi ini yang bisa dimanfaatkan Menkominfo yakni dalam Poin ketiga nomor tujuh di Inpres No 9 tahun 2015 yang berbunyi dapat mengundang dan mengikutsertakan Menteri, Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Kementerian, dan atau pihak lain dalam merumuskan materi informasi yang akan dikomunikasikan kepada publik.
Tetapi, tanpa adanya aturan teknis yang jelas seperti dalam bentuk Permen atau Kepmen, RA seperti melupakan aturan birokrasi dan justru membuat celah masuknya audit keuangan dari Badan pemeriksa Keuangan (BPK).
Ketiga, jika melihat persyaratan untuk masuk kategori "PR Profesional" dari Kemenkominfo memang lumayan ketat. Masalahnya, mungkinkah ada individu yang mau bekerja untuk masa dua tahun, setelah itu tak jelas masa depannya?
Secara posisi memang mentereng, karena “PR Profesional” ini setara dengan eselon II dan kabarnya akan selalu "embedded" dengan Menteri nantinya, agar pesan yang disampaikan ke publik terkawal.
Disini akan timbul permasalahan yakni sumber daya yang didapat bisa saja didominasi oleh pencari pekerjaan karena di PHK perusahaanya, dosen, atau PNS yang ingin promosi.
Di sektor swasta dengan persyaratan yang diminta oleh Kemenkominfo, biasanya seseorang dalam posisi General Manager atau Manager di bidang PR, relakah profesional meningggalkan kariernya hanya untuk mengabdi di pemerintahan selama dua tahun?
Para dosen mungkin potensial menduduki posisi ini karena bisa cuti dulu di luar tanggungan dan kembali lagi ke kampus setelah masa kontrak sebagai “PR Profesional” selesai. Hal yang sama juga terjadi dengan PNS, karena nantinya setelah masa penugasan selesai akan dikembalikan ke instansi lamanya.
Kalau begini, benarkah RA akan mendapatkan PR yang benar-benar Profesional?
Terakhir, isu culture gap yang nantinya akan dialami oleh “PR Profesional” tak bisa dilupakan. Misalnya, di Kemenkominfo selama ini sudah ada Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian. Jabatan ini dipegang oleh eselon II dengan dukungan sekitar 40 personel.
Masuknya “PR Profesional” versi RA tentu akan membuat “goncangan” karena akan ada dua matahari di satu unit. Hal ini terkesan sepele, tetapi sebagai organisasi bisa merusak irama kerja.
Maksimalkan Kompetensi
Scott M Cutlip (2000) dalam Effective Public Relations menyatakan PR adalah fungsi manajemen yang mengevaluasi perilaku publik, mengidentifikasi kebijakan yang bersinggungan dengan kepentingan publik, dan membuat perencanaan serta mengeksekusinya untuk mendapatkan pemahaman dan penerimaan dari publik.
Cutlip menyatakan di bukunya, banyak orang mencampuradukkan antara peran seorang PR dengan aktivitas pekerjaannya. Hal yang saya khawatirkan dari pemikiran RA terkait kebutuhan PR Profesional ini adalah seperti yang dipaparkan Cutlip.