Oleh: Dody Susanto
Direktur Klinik Pancasila
TRIBUNNEWS.COM - Kesetiakawanan Sosial terbangun karena ada perasaan senasib sepenanggungan (altruisme) dalam masyarakat. Masyarakat menjadi kuat salah satunya berkat suburnya kesetiakawanan di level masyarakat bawah (grass root).
Di mata dunia, bangsa kita sudah lama dikenal sebagai bangsa yang memiliki nilai-nilai peradaban cukup tinggi dalam hal entitas Kesetiakawanan Sosial yang kental, yaitu perasaan tidak tega melihat sesamanya menderita. Kalau toh menderita, seyogyanya dirasakan bersama dengan tingkat kesadaran nurani yang tulus, bukan sesuatu yang dipaksakan dan direkayasa. Merasa senasib sepenanggungan dalam naungan "payung kebesaran" religi, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan. Itulah yang membuat bangsa lain menaruh hormat dan respek.
Memang religi atau agama apapun itu telah turut memupuk rasa kesetiakawanan ini. Meski, kita masih menjumpai sikap altruisme ini belum sepenuhnya menerabas batas-batas keyakinan umat beragama yang plural. Tetapi semua inti ajaran agama-agama menganjurkan pada pemuliaan kemanusiaan; keberpihakan pada kemanusiaan dan rasa hormat pada kemanusiaan. Sebagai misal, dari re lung ajaran agama kita mengenal semangat "Tat twam Asi" (Aku adalah Engkau), yaitu rasa setia kawan yang mengandung spiritualitas bagi seorang anak manusia. Artiya rasa setia kawan yang menjelma dan bernaung, turba dalam dada bangsa kita, sehingga dahulu kala mampu merebut kembali kemerdekaan dari keserakahan kaum penjajah.
Semenjak gerakan reformasi digulirkan, beberapa tuntutan perubahan terjadi secara besar-besaran. Di berbagai sektor kehidupan menghendaki adanya proses penyesuaian menuju tata sosial, politik, ekonomi dan sosial budaya yang lebih baik. Cara-cara demokratis yang mencakup semangat toleransi, pluralisme, penghargaan atas minoritas, kebersamaan dan pengembangan lokalitas mulai menguat kembali. Persoalannya adalah transformasi atas perubahan baru ini ternyata justru tidak beijalan secara cepat, tepat dan relative normal. Justru berbagai fakta membuktikan bahwa masa transisi cenderung mengisyaratkan perlunya percepatan pencapaian kemajuan di segala bidang. Utamanya soal kesejahteraan sosial dan keadilan sosial. Hal yang terakhir ini dapat dipacu dan dipicu dengan penumbuhan kesadaran Kesetiakawanan Sosial.
Berbagai bencana alam dan gempa bumi susul menyusul telah menguji dan "menantang" penumbuhan kembali Kesetiakawanan Sosial. Fenomena kuatnya ketergantungan warga terhadap otoritas atau kekuasaan dan disisi lain hilangnya kemandirian warga dalam menyelesaikan persoalan sosial rupanya segera berkurang. Inilah indikasi kemandirian dalam alam demokrasi. Kiranya urgensi mengangkat kembali unsur- unsur nilai-nilai Kesetiakawanan Sosial menjadi sangat penting disini.
Kembali kita ingat semangat Kesetiakawanan Sosial di level akar rumput (grass root) mencapai "keemasan" kalau boleh dibilang demikian pada zaman Orde Baru. Karena zaman itu pada tataran Kebijakan Makro penyuluhan dan promosi penanaman
Kesetiakawanan Sosial sangat gencar dilakukan, walaupun dalam untaian "seremonial" belaka, belum sampai menyentuh aplikasi lapisan akar rumput (grass root). Namun, meski demikian, masyarakat di level bawah itu menyambut dengan antusia serta otomatis nilai- nilai itu teijalankan secara kultural dan agak massif. Hal ini terbukti berbagai pengalaman menunjukkan bahwa, sebenarnya prinsip-prinsip dasar Kesetiakawanan Sosial kemasyarakatan justru terbukti berhasil mewujudkan Kohesi dan Integrasi Sosial, bahkan memecahkan persoalan sosial di lapisan akar rumput.
Akan tetapi, nilai-nilai Kesetiakawanan Sosial warga masyarakat itu kelihatan mulai memudar, jika tidak boleh disebut nyaris punah. Persoalannya adalah bagaimana Kesetiakawanan Sosial (nilai-nilai) itu digali kembali dalam konteks masyarakat pluralis dalam realitas perubahan tata sosial seperti saat ini? Ini memang bukan pekeijaan mudah, namun kiranya kita perlu mencoba mengeksplore nilai-nilai sosial yang mungkin mendasari Kesetiakawanan Sosial berdasarkan pengalaman-pengalaman praktis ketika menangani suatu Problem Sosial yang teijadi di masyarakat.
A. Rupa-Rupa Kestiakawanan Sosial
Bangsa ini sudah mengetahui bahkan sudah akrab dengan Konsep Gotong Royong sebagai sebuah nilai kultural dasar masyarakat yang menjadi cerminan utuhnya Kesetiakawanan Sosial. Dalam beberapa hal dan kondisi, Gotong Royong nyaris sama makna dengan dua nilai kultural penting lainnya yaitu Tolong- menolong dan Kekeluargaan. Tetapi, walaupun ada perbedaan-perbedaannya, Gotong Royong adakalanya disokong oleh dua nilai kultural ini, atau teijadi sebaliknya. Maka nyaris perbedaan-perbedaan di kedua kutub maknanya hilang manakala kita menyaksikan atau terlibat mempraktikkan sendiri semua nilai-nilia altruis itu.
Untuk itu perlu kiranya dikedepankan dulu apa itu Tolong-menolong dan Kekeluargaan dalam penjabaran berikut ini; kelak setelah itu akan dibahas soal istilah dan konsep Gotong Royong dalam macam- macam pola tindakan sosialnya secara luas.
Tolong Menolong
Konsep Tolong-menolong yang popular kita ketahui di masyarakat ialah suatu praktik sosial yang mengacu pada suatu keija bersama untuk kepentingan individu atau keluarga tertentu, atau "dari saya/ kita untuk dia/mereka". Biasanya dalam praktik sosialnya yang punya gawe selalau "minta tolong" dan dengan "sopan santun" meminta kesediaan orang lain untuk membantunya. Lantas pertolongan itu biasanya akan dibalas secara setimpal, atau setidaknya setara nilai. Dalam praktik Tolong-menolong seseorang atau kelompok sosial digerakkan oleh asas timbal balik (reciprocity). Artinya, siapa yang pernah menolong tentu akan menerima pertolongan balik dari pihak yang pernah ditolongnya. Jadi Tolong-menolong adalah sejenis keijasama antar individu atau antar kelompok yang didasarkan asas timbal balik. Karena itu juga dapat dipandang sebagai jenis pertukaran peluang/jasa atau semacam asuransi sosial.
Kekeluargaan
Secara linguistic Kekeluargaan berarti suatu kondisi yang berhubungan dengan Keluarga. Kekeluargaan dalam berbagai istilah dapat disamakan dengan persaudaraan, kolektifisme, dan komunalisme. Istilah ini semua mengacu pada suatu suasana kehidupan sosial yang terjalin antara anggota-anggota suatu kelompok sosial, dimana setiap orang merasa berkerabat dengan yang lain, mempunyai hubungan persaudaraan, hubungan kekerabatan (Kinship). Polanya melebihi pertemanan dengan berazaskan prinsip solidaritas, dan nilai kesetiakawanan.
Hukum/etika pertemanan, prinsip solidaritas, saling Bantu, saling merasakan (tepo-seliro), dan seterusnya inilah inti dari praktik sosial Kekeluargaan. Dari sini kita memahami nilai kultural kekeluargaan bermakna solidaritas kelompok kekerabatan "berat sama dipikul, ringan sama dijinjing". Dimana semua anggota sebenarnya mempunyai Saham Sosial (social share). Dan semangat serta nilai kekelurgaan ini dimana-mana tumbuh dalam masyarakat yang Kesetiakawanan-sosialnya tinggi Yang artinya semangat nilai kultural ini memberikan sinyal bahwa, adalah kewajiban setiap warga untuk menolong secara sukarela kepada mereka yang sengsara ataupun hidup dibawah garis minimumkebutuhan hidupnya.
Bila saja nilai-nilai dasar Kesetiakawanan Sosial tersebut masih marak dalam praktik-praktik sosial dan tertanam dalam kesedaran dan semangat warga, maka secara umum dapat disimpulkan bahwa kehidupan bermasyarakat kita sebetulnya masih penuh dengan suasana: Religius, Kerukunan, Gotong Royong, Kekeluargaan, dan Tolong-menolong antar sesama.
Walaupun beberapa warga saja raasih bersifat individualistis (selfish) dan lain-lain. Akan tetapi hal- hal yang demikian tersebut adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari yang normal dari masyarakat manapun.
Bagaimanapun situasi yang dialami masyarakat kita dewasa ini tentunya cukup unutk menyadarkan bahwa nilai-nilai dasar Kesetiakawanan Sosial perlu mendapat perhatian dan dikaji secara mendalam, dan tentunya disertai pula dengan pelestarian nilai- nilainya.
Gotong Royong
Istilah Gotong Royong adalah asli istilah negeri ini dalam menggambarkan suatu tradisi yang khas berupa kebersamaan (kolektivisme) dalam membangun kehidupan menolak individualisme ala Barat. Awal kemerdekaan Negara pernah menerapkan demokrasi liberal, tapi kemudian runtuh. Maka sesudah itu Gotong royong dijunjung tinggi sebagai konsensus, dasar perkembangan baru. DPR yang dibentuk di tahun 1960-an diberi julukan DPR-GR (Gotong Royong). Barangkali untuk mengingatkan para wakil rakyat supaya mereka benar-benar bahu-membahu membangun pemerintahan baru yang lebih baik.
Menurut Prof. Koentjoroningrat, Gotong Royong baru dipakai oleh para ahli pertanian Belanda lulusan Wageningen, yang barangkali istilah ini sudah dipakai oleh suatu kelompok sosial (sosial community) di negeri ini. Hanya saja para elit baru mempopulerkannya dalam bahasa pergaulan/tata pemerintahan. Gotong-menggotong (Bs. Jawa) berarti beberapa orang bersama- sama membawa barang yang berat.
Royong berarti membagi hasil kerja secara adil, sesuai dengan besarnya sumbangan/sokongan yang diberikan. Jadi istilah Gotong Royong ini terdiri dari dua unsur makna : Bekerja bersama-sama (alih-alih untuk pekeijaan berat yang tak mungkin dijalankan seorang diri), lalu bersama-sama pula menikmati hasil pekeijaaan secara adil dan rata.
Bagi orang-orang di perdesaan Jawa, Gotong Royong mempunyai bentuk dan makna seperti di bawah ini;
1) Pengerahan tenaga keija tambahan dari luar lingkungan keluarga guna, misalnya, mendirikan atau memperbaiki rumah, bercocok tanam atau panen di sawah terutama dalam pertanian kecil yang tidak menggunakan uang. Di daerah-daerah yang kini dimasuki sistem uang/upah sistem ini berangsur-angsur lenyap.
2) Saling membantu antara para tetangga yang berdekatan untuk melakukan pekeijaan-pekeijaan kecil di sekitar rumah dan halaman atas dasar timbal balik. Dasar Gotong Royong dalam arti kedua ini adalah timbal balik, do ut des.
3) Gotong Royong antara para pedagang kecil/rantau. Mereka tinggal bersama/berkelompok untuk saling membantu, menjaga dan melindungi selama dirasa perlu. Kebiasaan ini merupakan dorongan dari rasa kesetiakawanan sosial (sosial solidarity), senasib sepenanggungan, dan menjadi usaha sementara untuk mengatasi belenggu kemiskinan.