Oleh: Dody Susanto
Direktur Klinik Pancasila
TRIBUNNEWS.COM - Kesetiakawanan Sosial terbangun karena ada perasaan senasib sepenanggungan (altruisme) dalam masyarakat. Masyarakat menjadi kuat salah satunya berkat suburnya kesetiakawanan di level masyarakat bawah (grass root).
Di mata dunia, bangsa kita sudah lama dikenal sebagai bangsa yang memiliki nilai-nilai peradaban cukup tinggi dalam hal entitas Kesetiakawanan Sosial yang kental, yaitu perasaan tidak tega melihat sesamanya menderita. Kalau toh menderita, seyogyanya dirasakan bersama dengan tingkat kesadaran nurani yang tulus, bukan sesuatu yang dipaksakan dan direkayasa. Merasa senasib sepenanggungan dalam naungan "payung kebesaran" religi, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan. Itulah yang membuat bangsa lain menaruh hormat dan respek.
Memang religi atau agama apapun itu telah turut memupuk rasa kesetiakawanan ini. Meski, kita masih menjumpai sikap altruisme ini belum sepenuhnya menerabas batas-batas keyakinan umat beragama yang plural. Tetapi semua inti ajaran agama-agama menganjurkan pada pemuliaan kemanusiaan; keberpihakan pada kemanusiaan dan rasa hormat pada kemanusiaan. Sebagai misal, dari re lung ajaran agama kita mengenal semangat "Tat twam Asi" (Aku adalah Engkau), yaitu rasa setia kawan yang mengandung spiritualitas bagi seorang anak manusia. Artiya rasa setia kawan yang menjelma dan bernaung, turba dalam dada bangsa kita, sehingga dahulu kala mampu merebut kembali kemerdekaan dari keserakahan kaum penjajah.
Semenjak gerakan reformasi digulirkan, beberapa tuntutan perubahan terjadi secara besar-besaran. Di berbagai sektor kehidupan menghendaki adanya proses penyesuaian menuju tata sosial, politik, ekonomi dan sosial budaya yang lebih baik. Cara-cara demokratis yang mencakup semangat toleransi, pluralisme, penghargaan atas minoritas, kebersamaan dan pengembangan lokalitas mulai menguat kembali. Persoalannya adalah transformasi atas perubahan baru ini ternyata justru tidak beijalan secara cepat, tepat dan relative normal. Justru berbagai fakta membuktikan bahwa masa transisi cenderung mengisyaratkan perlunya percepatan pencapaian kemajuan di segala bidang. Utamanya soal kesejahteraan sosial dan keadilan sosial. Hal yang terakhir ini dapat dipacu dan dipicu dengan penumbuhan kesadaran Kesetiakawanan Sosial.
Berbagai bencana alam dan gempa bumi susul menyusul telah menguji dan "menantang" penumbuhan kembali Kesetiakawanan Sosial. Fenomena kuatnya ketergantungan warga terhadap otoritas atau kekuasaan dan disisi lain hilangnya kemandirian warga dalam menyelesaikan persoalan sosial rupanya segera berkurang. Inilah indikasi kemandirian dalam alam demokrasi. Kiranya urgensi mengangkat kembali unsur- unsur nilai-nilai Kesetiakawanan Sosial menjadi sangat penting disini.
Kembali kita ingat semangat Kesetiakawanan Sosial di level akar rumput (grass root) mencapai "keemasan" kalau boleh dibilang demikian pada zaman Orde Baru. Karena zaman itu pada tataran Kebijakan Makro penyuluhan dan promosi penanaman
Kesetiakawanan Sosial sangat gencar dilakukan, walaupun dalam untaian "seremonial" belaka, belum sampai menyentuh aplikasi lapisan akar rumput (grass root). Namun, meski demikian, masyarakat di level bawah itu menyambut dengan antusia serta otomatis nilai- nilai itu teijalankan secara kultural dan agak massif. Hal ini terbukti berbagai pengalaman menunjukkan bahwa, sebenarnya prinsip-prinsip dasar Kesetiakawanan Sosial kemasyarakatan justru terbukti berhasil mewujudkan Kohesi dan Integrasi Sosial, bahkan memecahkan persoalan sosial di lapisan akar rumput.
Akan tetapi, nilai-nilai Kesetiakawanan Sosial warga masyarakat itu kelihatan mulai memudar, jika tidak boleh disebut nyaris punah. Persoalannya adalah bagaimana Kesetiakawanan Sosial (nilai-nilai) itu digali kembali dalam konteks masyarakat pluralis dalam realitas perubahan tata sosial seperti saat ini? Ini memang bukan pekeijaan mudah, namun kiranya kita perlu mencoba mengeksplore nilai-nilai sosial yang mungkin mendasari Kesetiakawanan Sosial berdasarkan pengalaman-pengalaman praktis ketika menangani suatu Problem Sosial yang teijadi di masyarakat.
A. Rupa-Rupa Kestiakawanan Sosial
Bangsa ini sudah mengetahui bahkan sudah akrab dengan Konsep Gotong Royong sebagai sebuah nilai kultural dasar masyarakat yang menjadi cerminan utuhnya Kesetiakawanan Sosial. Dalam beberapa hal dan kondisi, Gotong Royong nyaris sama makna dengan dua nilai kultural penting lainnya yaitu Tolong- menolong dan Kekeluargaan. Tetapi, walaupun ada perbedaan-perbedaannya, Gotong Royong adakalanya disokong oleh dua nilai kultural ini, atau teijadi sebaliknya. Maka nyaris perbedaan-perbedaan di kedua kutub maknanya hilang manakala kita menyaksikan atau terlibat mempraktikkan sendiri semua nilai-nilia altruis itu.
Untuk itu perlu kiranya dikedepankan dulu apa itu Tolong-menolong dan Kekeluargaan dalam penjabaran berikut ini; kelak setelah itu akan dibahas soal istilah dan konsep Gotong Royong dalam macam- macam pola tindakan sosialnya secara luas.
Tolong Menolong
Konsep Tolong-menolong yang popular kita ketahui di masyarakat ialah suatu praktik sosial yang mengacu pada suatu keija bersama untuk kepentingan individu atau keluarga tertentu, atau "dari saya/ kita untuk dia/mereka". Biasanya dalam praktik sosialnya yang punya gawe selalau "minta tolong" dan dengan "sopan santun" meminta kesediaan orang lain untuk membantunya. Lantas pertolongan itu biasanya akan dibalas secara setimpal, atau setidaknya setara nilai. Dalam praktik Tolong-menolong seseorang atau kelompok sosial digerakkan oleh asas timbal balik (reciprocity). Artinya, siapa yang pernah menolong tentu akan menerima pertolongan balik dari pihak yang pernah ditolongnya. Jadi Tolong-menolong adalah sejenis keijasama antar individu atau antar kelompok yang didasarkan asas timbal balik. Karena itu juga dapat dipandang sebagai jenis pertukaran peluang/jasa atau semacam asuransi sosial.
Kekeluargaan
Secara linguistic Kekeluargaan berarti suatu kondisi yang berhubungan dengan Keluarga. Kekeluargaan dalam berbagai istilah dapat disamakan dengan persaudaraan, kolektifisme, dan komunalisme. Istilah ini semua mengacu pada suatu suasana kehidupan sosial yang terjalin antara anggota-anggota suatu kelompok sosial, dimana setiap orang merasa berkerabat dengan yang lain, mempunyai hubungan persaudaraan, hubungan kekerabatan (Kinship). Polanya melebihi pertemanan dengan berazaskan prinsip solidaritas, dan nilai kesetiakawanan.
Hukum/etika pertemanan, prinsip solidaritas, saling Bantu, saling merasakan (tepo-seliro), dan seterusnya inilah inti dari praktik sosial Kekeluargaan. Dari sini kita memahami nilai kultural kekeluargaan bermakna solidaritas kelompok kekerabatan "berat sama dipikul, ringan sama dijinjing". Dimana semua anggota sebenarnya mempunyai Saham Sosial (social share). Dan semangat serta nilai kekelurgaan ini dimana-mana tumbuh dalam masyarakat yang Kesetiakawanan-sosialnya tinggi Yang artinya semangat nilai kultural ini memberikan sinyal bahwa, adalah kewajiban setiap warga untuk menolong secara sukarela kepada mereka yang sengsara ataupun hidup dibawah garis minimumkebutuhan hidupnya.
Bila saja nilai-nilai dasar Kesetiakawanan Sosial tersebut masih marak dalam praktik-praktik sosial dan tertanam dalam kesedaran dan semangat warga, maka secara umum dapat disimpulkan bahwa kehidupan bermasyarakat kita sebetulnya masih penuh dengan suasana: Religius, Kerukunan, Gotong Royong, Kekeluargaan, dan Tolong-menolong antar sesama.
Walaupun beberapa warga saja raasih bersifat individualistis (selfish) dan lain-lain. Akan tetapi hal- hal yang demikian tersebut adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari yang normal dari masyarakat manapun.
Bagaimanapun situasi yang dialami masyarakat kita dewasa ini tentunya cukup unutk menyadarkan bahwa nilai-nilai dasar Kesetiakawanan Sosial perlu mendapat perhatian dan dikaji secara mendalam, dan tentunya disertai pula dengan pelestarian nilai- nilainya.
Gotong Royong
Istilah Gotong Royong adalah asli istilah negeri ini dalam menggambarkan suatu tradisi yang khas berupa kebersamaan (kolektivisme) dalam membangun kehidupan menolak individualisme ala Barat. Awal kemerdekaan Negara pernah menerapkan demokrasi liberal, tapi kemudian runtuh. Maka sesudah itu Gotong royong dijunjung tinggi sebagai konsensus, dasar perkembangan baru. DPR yang dibentuk di tahun 1960-an diberi julukan DPR-GR (Gotong Royong). Barangkali untuk mengingatkan para wakil rakyat supaya mereka benar-benar bahu-membahu membangun pemerintahan baru yang lebih baik.
Menurut Prof. Koentjoroningrat, Gotong Royong baru dipakai oleh para ahli pertanian Belanda lulusan Wageningen, yang barangkali istilah ini sudah dipakai oleh suatu kelompok sosial (sosial community) di negeri ini. Hanya saja para elit baru mempopulerkannya dalam bahasa pergaulan/tata pemerintahan. Gotong-menggotong (Bs. Jawa) berarti beberapa orang bersama- sama membawa barang yang berat.
Royong berarti membagi hasil kerja secara adil, sesuai dengan besarnya sumbangan/sokongan yang diberikan. Jadi istilah Gotong Royong ini terdiri dari dua unsur makna : Bekerja bersama-sama (alih-alih untuk pekeijaan berat yang tak mungkin dijalankan seorang diri), lalu bersama-sama pula menikmati hasil pekeijaaan secara adil dan rata.
Bagi orang-orang di perdesaan Jawa, Gotong Royong mempunyai bentuk dan makna seperti di bawah ini;
1) Pengerahan tenaga keija tambahan dari luar lingkungan keluarga guna, misalnya, mendirikan atau memperbaiki rumah, bercocok tanam atau panen di sawah terutama dalam pertanian kecil yang tidak menggunakan uang. Di daerah-daerah yang kini dimasuki sistem uang/upah sistem ini berangsur-angsur lenyap.
2) Saling membantu antara para tetangga yang berdekatan untuk melakukan pekeijaan-pekeijaan kecil di sekitar rumah dan halaman atas dasar timbal balik. Dasar Gotong Royong dalam arti kedua ini adalah timbal balik, do ut des.
3) Gotong Royong antara para pedagang kecil/rantau. Mereka tinggal bersama/berkelompok untuk saling membantu, menjaga dan melindungi selama dirasa perlu. Kebiasaan ini merupakan dorongan dari rasa kesetiakawanan sosial (sosial solidarity), senasib sepenanggungan, dan menjadi usaha sementara untuk mengatasi belenggu kemiskinan.
Karena itu, menjadi kesimpulan umum bahwa Gotong Royong merupakan suatu akibat dari kondisi sosial yang mengkondisikan setiap individu untuk tetap dalam kebersamaan. Kondisi itu misalnya "kemiskinan bersama', sehingga keperluan-keperluan atau perkeijaan yang bersifat pribadi karena tidak memiliki uang cukup dikeijakan secara bahu-membahu dan bersama-sama. Itulah Gotong Royong. Kondisi lainnya, misalnya, 'benca bersama' seperti sebuah desa yang dilanda bencana banjir atau gempa bumi akan mudah dijumpai praktik Gotong royong yang kental dengan nuansa suka rela. Seperti pula di awal perang revolusi fisik melawan penjajah (bencana bersama), masyarakat desa terutama ibu-ibu menyediakan bekal berupa makanan (dan minuman) apa saja dari hasil bumi untuk disuguhkan kepada para pejuang gerilyawan yang melintasi daerah mereka dengan meletakkannya di pingir-pinggir jalan.
Satu arti lagi dari Gotong Royong yang masih kita jumpai dalam bentuk aktivitas suatu pekeijaan bersama dalam menyelesaikan suatu proyek atau melaksanakan tugas yang dianggap berguna bagi masyarakat luas, tanpa menerima upah atau bayaran. Seperti membangun atau memperbaiki rumah ibadah, membangun atau memperbaiki saluran air (got) desa, meronda bergilir setiap malam, membangun atau memperbaiki jalan, dan lain-lain. Untuk pekeijaan Gotong Royong ini lazim disebut Kerja Bhakti.
Sistem Gotong Royong yang dijalani nenek moyang sesuai dengan masyarakat agrasi dan bahari pada waktu lampau, masih kita jumpai di beberapa daerah terlembagakan dalam sistem-sistem adat. Dan beberapa daerah membiarkan tidak terlembagakan kedalam sistem adat, tetapi 'terikat' oleh nilai-nilai kebersamaan (communalistics). Akan tetapi, untuk kelompok sosial yang terakhir ini, biasanya akan rentan luntur manakala sistem uang/upah yang ditimbulkan oleh kapitalisme-markantilisme mulai merambah daerah itu.
Adakalanya sistem Gotong-royong yang berlaku dalam masyarakat agrasi, misalnya, dinilai menjadi faktor melambannya atau teijadinya kejumudan perkembangan sosial ekonomi dan politik. Seperti penilaian yang dilontarkan oleh Prof. Koentjoroningrat berikut ini;
"Mengenai tolong-menolong dalam produksi pertanian, dapat dikatakan bahwa sistem itu sejak lama dirasakan oleh para petani sebagai suatu metode pengerahan tenaga yang mempunyai banyak segi negatifnya. Dengan gejala bertambahnya penduduk dengan laju kenaikan yang makin tahun makin membanyak sekarang ini, gejala tolong menolong dalam produksi pertanian terang menjadi suatu penghambat bagi pembangunan, dan perubahan dari sistem itu membutuhkan suatu pemikiran yang serius."
Sekarang apakah warisan Gotong Royong itu dapat dijadikan landasan untuk membangun suatu sistem nilai Gotong Royong baru di zaman yang sudah serba uang ini (kapitalistik)? Yang jelas Gotong Royong mempunyai akar-akarnya pada falsafah Negara ini. Bila Gotong Royong itu terhapus atau dihapuskan dalam pergaulan sosial Manusia Indonesia, maka itu sama artinya dengan menghapus nilai-nilai butir falsafah atau sila kemenjadian bangsa ini.
Senasib Sepenanggungan
Gotong Royong bisa dikatakan sebagai suatu sistem nilai yang solid, yang melatarbelakangi kebiasaan saling menolong sebagai suatu "keharusan" dan keterpanggilan dalam keadaan buruk atau serba kurang. Nilai-nili solid dalam Gotong Royong itu karena sifat dasar manusia (tabiat); pertama, manusia tidak hidup sendiri, tetapi dikelilingi oleh lingkungan sosial dan alam sekitarnya. Kedua, manusia pada hakikatnya tergantung, dalam segala aspek kehidupannya, pada manusia lain; ketiga, maka ia terdorong untuk berusaha mempertahankan hubungan-baik dengan sesamanya dalam semangat persamaan hak dan persaudaraan. Keempat, karena itu manusia terpaksa menyesuaikan diri, melakukan yang sama, dan menjadi sama dengan anggota-anggota masyarakat lainnya.
Meski konsep-konsep dalam sistem nilai diatas tampak sisi negatifnya, dalam perkembangan masyarakat yang lebih maju dan modern dapat berubah menjadi sistem solid yang baru dalam menjaga tatanan sosial yang baik dan adiluhung. Memang tampak seperti pisau bermata dua. Di zaman feodalistik, anggota masyarakat menjadi tidak berkutik dalam kungkungan kekuasaan patron yang mengendalikan sistem sosialnya. Tetapi di era domokratis ini menjadi celah bagi anggota-anggota masyarakat dan bagi bangunan sosial (societal building) itu sendiri untuk melakukan trobosan-trobosan baru kemajuan. Sebab, berbeda di zaman feodal, di zaman demokratis hak-hak sipil dihargai dan menjadi alasan penentuan kebijakan umum.
Di zaman demokratis (demokratisasi) Gotong Royong dapat dikembangkan menjadi sistem rasa tanggung jawab terhadap kepentingan bersama (civil responsibility). Maka sistem ini sangat jauh berlawanan dengan sikap acuh-takacuh (apatisme) terhadap nasib sesama manusia dan serba boleh terhadap tindakan apapun itu (permisifisme), baik atau buruk, dari prilaku anggota masyarakat. Serta bertentangan dengan sikap membiarkan kekayaan negara/ kepentingan umum diselewengkan atau dikorup oleh oknum/ minoritas penguaia.
Gotong Royog modem setidaknya ialah kesadaran akan tanggung jawab aktif terhadap struktur masyarakat dan perkembangannya yang sehat sehingga kemampuan (talents), kreativitas, dan kaiya serta kedudukan setiap warga mendapat hak dan baglannya yang wajar. Semangat ini telah dirumuskan dalam Sila Perikemanusiaan dan Keadllan Sosial. Maka dalam membangun masyarakat Indonesia yang iebih modem pelaksanaan sila-sila Paneasila yang mengandungi dua sila itu secara tegas perlu ditekankan oleh pemegang kebljakan dan dengan berani menghapuskan kebiasaan hanya mementingkan pribadi/keiompoknya sendiri yang akibatnya teijadi penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan. Pada akhirnya rakyat yang menderita,
Cara dan bentuk Gotong Royong modem berbeda dengan bentuk dan cara Gotong Royong masa lampau. Masyarakat modem harus iebih bereorak rasional dan teratur, supaya hal-hal yang mendesak dapat dilaksanakan dengan oepat dan tepat. Mulai dari basisnya di desa atau di iembaga-lebaga pendidikan (SD,SMP, SMA), rakyat mengambil bagian dengan bebas dalam proses pengambilan=pengambilan keputusan yang ikut menentukan nasibnya. Setiap warga ikut serta sesuai dengan kemampuannya mengawasi pelaksanaan pemerintahan mulai dari pengambiian kebljakan sampai pelaksanaanya, dari basis paling rendah (RT/RW) sampai pucuk pemerintahan (Presiden). Sebab, setiap warga menyumbang pada setiap kegiataa masyarakat atau pemerintahan dengan pajak, iuran, tenaga dan sebagainya, Karena sumbangan itu warga berhak mengontrol penggunaannya, Bila diperlukan, ia berhak menuntuk penggantian pejabat-pejabat yang dinilai tidak mampu atau tidak jujur.
Karena itulah Gotong Royong modern perlu pendidikan, penyuluhan (informations), dan pembinaan yang berwawasan pendidikan politik yang aktif dan positif.
Jadi, Gotong Royong merupakan bentuk perasaan senasib sepenanggungan (altruisme) dan satu-kesatuan antara Gotong dan Royong. Tidak ada menggotong saja, yakni bekeija banting tulang peras keringat atau menyumbang tanpa membagi hasil keija dengan adil. Atau meroyong saja, yakni hanya mencari hasil tanpa ikut serta berkeija dam berkorban. Dalam sistem ini hampir sama dengan berlakunya sistem asuransi, yakni adanya pihak saling menanggung atau imbal-balik. Walhasil, Gotong Royong tercipta berdasarkan rasa senasib sepenanggungan dan kesetiakawanan sosial.
Bhakti Sosial
Dalam masyarakat yang tumbuh Gotong Royongnya itu berkat adanya rasa kebersamaan yang kuat. Bila sudah tercapai tingkatan ini, akan mudah ditemukan bentuk-bentuk volunterisme (kesukarelawanan) dalam masyarakat itu. Setiap warga terdorong kalau bukan oleh "keharusan nilai dan tradisi itu," oleh keterpanggilan untuk berbuat yang pantas atau baik diterima oleh masyarakatnya entah apakah yang bermanfaat langsung kepada masyarakat itu atau kelak kemudian hari dapat dipetik manfaatnya.
Puncak ini lazim disebut Bhakti Sosial. Bhakti Sosial itu mengabdi untuk kebaikan (bukan kepentingan) orang banyak. Seorang pemimpin (Presiden, gubernur, bupati, camat, kepala desa, ketua RW/RT) bisa dikatakan sedang ber-Bhakti Sosial manakala dalam menjalankan kepemimpinan/ pemerintahan-nya mentaati azas Gotong Royong. Seorang Presiden dikatakan ber-Bhakti Sosial bila kebijakan-kebijakannya berpihak bukan pada kepentingan, tetapi kepada kebaikan lebih-lebih ke kebenaran. Jika ia dikatakan berpihak pada kepentingan orang banyak, itu sangat tidak realistis dan absurd. Sebab, kepentingan orang banyak itu berbeda-beda dan bersifat masing-masing. Sangat tidak mungking kemampuan dan kesempatan Presiden yang terbatas, mampu berpihak kepada kepentingan orang banyak. Gambaran ini bisa kita contohkan kepada seorang Kepala Keluarga. Ia tidak bisa memuaskan kepentingan semua anggotanya secara bersamaan. Yang bisa dilakukannya, ialah berbuat kebaikan atau berpihak pada kebaikan umum/orang banyak.
B. Perbedaan Praktik-praktik Gotong Royong
Di banyak tempat di Pulau Jawa, kegiatan Gotong royong dalam istilah lokal disebut : Sambatan, Gentosan, Keijabakti, Gugur- gunung. Apabila kegiatan dilakukan untuk menyelesaikan pekeijaan - pekeijaan tertentu, dan disebut "tetulung layat," "tilik" untuk jenis kegiatan yang berhubungan dengan kemalangan dan bencana. Jadi Gotong-royong adalah kegiatan keijasama untuk menyelesaikan suatu "gawe" tertentu yang dianggap berguna bagi kepentingan umum: "dari kita, ole kita, dan untuk kitri". Dalam Gotong royong sumbangan yang diberikan seseorang apakah dalam bentuk benda, jasa atau tenaga adalah untuk kepentingan bersama seluruh anggota kelompok. Jadi hampir semua warga mempeoleh imbal bali yang umumnya berupa "kebaikan bersama", dan itu menjadi bentuk komitmen dan semangat menyatukan diri dengan kelompok; semangat solidaritas sebagai anggota, kelompok. Sementara apabila seseorang tidak ikut dalam gotong royong dapat dipandang sebagai "licik" tidak punya kebersamaan dan hanya mau enaknya sendiri.
Beberapa praktik Gotong Royong telah dilembagakan kedalam adat di beberapa wilayah kesukuan di tanah air. Sebut saja tradisi SASI di Maluku, Gerakan Seribu Minang (Gebu Minang) di Padang- Sumatera Barat, Mapalus di suku Minahasa - Sulawesi Utara, Marsipature Hutana Be di suku Batak - Sumatera Utara, dan barangkali masih ada di beberapa suku bangsa di tanah air ini yang tak mungkin disebutkan karena keterbatasan. Tradisi-tradisi itu merupakan bentuk Gotong Royong yang mempunyai norma-norma adat yang mengikat. Di dalam tradisi- tradisi itu ada nilai-nilai kebersamaan, kesetiakawanan sosial yang melampaui pranata-pranata modernya. Adat lebih ampuh untuk menjaga kesinambungan masyarakat. Sebab itu nilai manfaat akan terus bisa dipetik secara bersama-sama, dan tentu pala dengan aturan-aturan nilai adat itu sendiri, untuk kebaikan bersama.
Budaya Sasi di Maluku kadang berupa kesepakatan-kesepakatan untuk menjaga Tabu (larangan adat) demi pelestarian manfaat kekayaan alam; atau rupa-rupa tabu lainnya. Anggota masyarakat menyadari dan patuh pada esensi budaya ini untuk menjaga harmoni (keselarasan) masyarakat, serta individu-individu dengan masing- masing kepentingan pribadi yang berbeda-beda. Di depan norma adat, warga patuh dalam kebersamaan menjalani ketentuan- ketentuan sosialnya. Namun tak jarang budaya Sasi dianggap penghalang kemajuan pembangunan. Meski demikian, terasa sekali budaya (adat-tradisi) ini mampu menjaga alam dan lingkungan dari keserampangan pengelolaan dan eksploitasi. Sebagai genius local, Sasi masih bisa memberikan manfaat bersama terhadap masyarakat atau suku-suku di Maluku. Kearifan tradisi Sasi ini bertujuan;
• Menjaga ketertiban dalam pengelolaan alam dan lingkungan hidup,
• Mengubah tingkah laku dan pola pikir masyarakat menjadi masyarakat berwawasan lingkungan
• Menjaga kerusakan sumber daya alam dan lingkungan hidup.
• Penggunaan Hak seseorang secara tepat menurut waktu yang ditentukan untuk memetik hasil keija.
Gebu Minang adalah bentuk gotong royong masyarakat Padang yang tampaknya modern sekali. Gebu Minang ini adalah kepedulian orang minang rantau akan pembangunan kampung halaman (daerahnya) dan pemberdayaan masyarakat Padang. Ciri modernnya, Gebu Minang kini menjadi semacam organisasi dengan sistem dan perangkat administrasi modern; menjadi Lembaga Swadaya dan Organisasi sosial. Rasa kebersamaan dan kesetiakawanan sosial menjadi ciri dan sendi model 'gerakan' Gotong Royong ini. Ketika bencana gempa bumi kemarin, Padang relatif cepat bergerak untuk bangkit dan membangun kembali berkat solidaritas sosial masyarakatnya serta solidaritas nasional masyarakat di luar mereka.
Mapalus adalah suatu sistem atau teknik keijasama untuk kepentingan bersama dalam budaya Suku Minahasa. Secara fundamental, Mapalus adalah suatu bentuk Gotong-royong tradisional yang memiliki perbedaan dengan bentuk-bentuk Gotong royong modern, seperti perkumpulan atau asosiasi usaha.
Seiring dengan berkembangnya fungsi-fungsi organisasi sosial yang menerapkan kegiatan-kegiatan dengan asas Mapalus, saat ini, Mapalus juga sering digunakan sebagai asas dari suatu organisasi kemasyarakatan di Minahasa. Mapalus berasaskan kekeluargaan, keagamaan, dan persatuan dan kesatuan. Bentuk Mapalus, antara lain:
• Mapalus tani
• Mapalus nelayan
• Mapalus uang
• Mapalus bantuan duka dan perkawinan; dan,
• Mapalus kelompok masyarakat.
Dalam penerapannya, Mapalus berfungsi sebagai daya tangkal bagi resesi ekonomi dunia, sarana untuk memotivasi dan memobilisasi manusia bagi pemantapan pembangunan, dan merupakan sarana pembinaan semangat keija produktif untuk keberhasilan operasi mandiri, seperti program intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian. Atau pembangunan Jaring Pengaman baik sosial maupun ekonomi. Misalnya saja prinsip solidaritas yang tercermin dalam Mapalus terefleksi dalam perekonomian masyarakat di Minahasa, yaitu dikenalkannya prinsip ekonomi Tamber.
Prinsip ekonomi Tamber merujuk pada suatu kegiatan untuk memberikan sesuatu kepada orang lain, atau warga setuanua (sekampung) secara sukarela dan cuma-cuma, tanpa menghitung-hitung atau mengharapkan balas jasa. Prinsip ekonomi Tamber berasaskan kekeluargaan. Dari segi motivasi adat, prinsip ini mengandung suatu makna perekat kultural (cagar budaya) yang mengungkapkan juga kepedulian sosial, bahkan indikator keakraban sosial. Faktor kultural prinsip ekonomi Tamber berdasarkan keadaan alam Minahasa yang subur dan berlimpah, dan tipikal orang Minahasa yang cenderung raj in dan murah hati.
Sementara Marsipature Hutana Be di suku Batak - Sumatera Utara lebih mengarah pada pembangunan kampung halaman (fisik). "Martabe" adalah kependekan dari Marsipature Hutana Be (bahasa Batak). "Marsipature" berasal dari kata dasar "ture" yang berarti baik, sehingga jika diberi imbuhan "marsi" berarti saling memperbaiki atau saling membangun. "Hutana" berarti kampungnya atau desanya, sedang "Be", berarti masing-masing. Dari rangkaian 3 kata itu bisa diartikan membangun kampung/desanya masing- masing.
Alasan lahimya konsep martabe adalah untuk membangun kampung halamannya, Bila diartikan lebih luas, "martabe" adalah membangun untuk rakyat di pedesaan dan memang sudah menjadi tanggung jawab bersama untuk membangun tempat asal/kampung halaman. Masyarakat Batang berharap semoga semangat ini (MARTABE) tetap ada dalam diri anggota masyarakat; khususnya bagi para perantau.
Bagitulah Saham Sosial dibangun di dalam relung kehidupan masyarakat bangsa Indonesia, yang tentu berbeda cara dan polanya. Akan tetapi prinsipnya tetap menggunakan Gotong Royong sebagai bentuk keija/ kegiatan sosial; dimana dilandai oleh semangat dan nilai kesetiakawanan sosial, kekeluargaan (kinship), perasaan senasib sepenanggungan.
Saham Sosial, dalam rupa apapun dalam masyarakat tradisi, merupakan bekal mengarungi kehidupan di masa depan lebih lama— yang mendatangkan kebaikan, kebajikan dan manfaat. Dengan semua itu tentu masyarakat, walaupun kaum strukturalis berpandangan deterministik (bahwa masyarakat dipupuk dan dikokohkan oleh konflik- konflik yang telah ajeg), teijaga kesinambungannya dalam harmoni yang dipupuk oleh Saham Sosial diatas.[