News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Kopi Gayo

Sejarah Kopi Gayo: Sengkewe dan Belanda

Editor: Yulis Sulistyawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Petani dan kebun Kopi Gayo

TRIBUNNEWS.COM - Masyarakat Gayo menyebut kopi dengan istilah "sengkewe" atau "kewe." Tanaman kopi sudah tumbuh di Gayo, sebagai tanaman liar, jauh sebelum Belanda masuk ke Gayo pada 1904.

Istilah sengkewe atau kewe terdapat dalam doani kupi, yang diucapkan petani kopi saat menanam kopi.

Teka "doani kupi" lengkapnya sebagai berikut:

Orom Bismillah,
Sengkewe
kunikahen ko orom kuyu
wih kin walimu
tanoh kin saksimu
Mantanlo kin saksi kalammu"

(Dengan Bismillah
Sengkewe
Kunikahkan dikau dengan angin
Air walimu
Tanah saksimu
Matahari saksi kalam mu)

Teks tersebut diperoleh dari Mustafarun, petani kopi kampung Gele Wih Ilang, Kabupaten Bener Meriah.

"Dulu orang Gayo membacakan itu saat menanam kopi," kata Mustafa, saat diwawancarai pada 13 Januari 2013 di Redelung Bener Meriah. Belum lama ini, Mustafarun dikabarkan telah meninggal dunia.

Dalam teks lain, orang Gayo menjadikan kopi sebagai ungkapan pepatah, berbunyi:

"muriti-riti lagu kupi, murentang-rentang lagu gantang," (bersusun rapi seperti batang kopi, berbanjar seperti baris kentang).

Ungkapan lain berbunyi "kulni buet gere be kupi (begini besar kerja kok tanpa kopi).

Ungkapan ini kedengarannya sebuah canda dan sindiran halus kepada tuan rumah untuk segera menyediakan kudapan dan tentu minuman kopi dalam satu pekerjaan besar yang dilakukan bersama-sama.

Begitulah cara masyarakat Gayo menghayati kopi sebaga bagian dari kehidupannya. "Doani kupi" dan ungkapan "pepatah kopi" memperlihatkan bahwa kopi bukan sekedar minuman, melainkan ekspresi kebudayaan yang dihayati sangat intens. Bagi orang Gayo kopi telah menjadi napas kehidupannya.

Lantas bagaimana muasal kopi di Gayo? Tak ada catatan pasti. Kapan tanaman kopi tumbuh di bumi Gayo. Masyarakat Gayo klasik hanya menyebut kopi dengan istilah “sengkewe” atau "kawa" seperti yang terekam dalam "doani kupi" tadi.

Daun kewe diminum setelah diseduh dengan air panas. Batangnya digunakan sebagai pagar. Sama sekali belum diperoleh pengetahuan tentang kegunaan biji kopi sebagai minuman.

Penyair Didong Gayo, Ibrahim Kadir masih ingat ketika orang tuanya merebus daun “kawa” untuk diminum.

“Saya ingat, karena orangtua saya melakukannya seperti itu,” kata Ibrahim Kadir.

Ia menyebutkan “kawa” tumbuh liar, batangnya tinggi dengan ranting yang menjalar kemana-mana. Buahnya seukuran kelereng, berwarna merah menyala.

“Boleh jadi masa itu orang Gayo tidak menyadari bahwa itu adalah tanaman penting dan membiarkannya sebagai tanaman liar, kecuali daunnya yang diseduh jadi teh,” kata Ibrahim Kadir.

Istilah “kawa” atau “sengkawa” ini juga dikutip oleh C. Snouck Hurgronje, penulis Belanda dalam bukunya “Het Gajoland en Zijne Bewoners” yang terbit pertama kali di Batavia pada 1903, diterbitkan ulang dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi “Gayo Masyarakat dan Kebudayaannya Awal Abad ke-20” oleh Hatta Hasan Aman Asnah, PN Balai Pustaka, 1996. Snouck menyinggung soal kopi di khalaman 254.

C. Sonuck Hurgronje dalam buku tersebut mengungkapkan rasa herannya karena di tanah Gayo dijumpai batang kopi.

“Darimana asalnya, seorangpun tidak ada yang tahu. Sepanjang ingatan, tidak seorangpun mengaku pernah menanam kopi, dan menganggap bahwa tanaman ini tanaman liar,” tulis C. Snouck Hurgronje.

Masih menurut C. Snouck, masa itu orang mengambil batang atau cabang tanaman kopi untuk pagar (peger) kebun. Buah kopi yang masak dibiarkan saja dimakan burung, kemudian burung itulah yang menyebarkan kopi.

“Orang Gayo sendiri tidak tahu bahwa kopi itu bisa diolah menjadi minuman segar. Yang mereka tahu hanya memanggang daunnya yang kemudian dijadikan teh,” kata C. Snouck Hurgronje.

Ini artinya, bahwa kopi telah tumbuh di dataran tinggi Gayo sebelum Belanda menjejakkan kaki kawasan itu pada 1904.

Dengan demikian terbantahkan anggapan selama ini, seolah-olah kopi dibawa oleh Belanda ke Gayo.

Cerita di berbagai publikasi tentang kopi, memang selalu disebutkan bahwa kopi pertama kali masuk ke Indonesia tahun 1696 melalui Batavia (sekarang Jakarta), dibawa oleh Komandan Pasukan Belanda Adrian Van Ommen dari Malabar – India.

Ditanam dan dikembangkan di tempat yang sekarang dikenal dengan Pondok Kopi -Jakarta Timur, dengan menggunakan tanah partikelir Kedaung.

Sayangnya tanaman ini kemudian mati semua oleh banjir, maka tahun 1699 didatangkan lagi bibit-bibit baru, yang kemudian berkembang di sekitar Jakarta dan Jawa Barat antara lain di Priangan, dan akhirnya menyebar ke berbagai bagian di kepulauan Indonesia seperti Sumatera, Bali, Sulawesi dan Timor. (Diunduh 26 Januari 2014 dari http://www.aeki-aice.org/page/sejarah/id).

Publikasi yang lain menyebutkan, kopi Gayo, Aceh berasal dari Belanda yang dibawa oleh seorang pengusaha Belanda pada abad XVII melalui Batavia (sekarang Jakarta) lalu masuk ke Aceh.

Kopi yang pertama sekali diperkenalkan adalah kopi jenis Arabica yang kemudian berkembang dengan jenis yang makin beragam. (Diunduh pada 26 januari 2014 dari (http://www.kopiaceh.com/asal-usul-kopi-aceh/)

Boleh jadi budidaya kopi secara besar-besaran baru dilakukan oleh Belanda, segera setelah selesainya pembangunan jalan utama Takengon-Bireuen pada 1916 (mulai dibangun 1904), sehingga bisa dilintasi mobil.

Ketika itu kolonialis Belanda langsung membuka tiga perkebunan besar, yaitu perkebunan kopi seluas 20.000,- hektar, perkebunan teh dan perkebunan pinus.

Belanda juga membangun kilang pengolahan kopi terletak di Bandar Lampahan (Bener Lampahen), sekarang masuk wilayah Kabupaten Bener Meriah.

Sedangkan areal perkebunan tersebar pada radius 40 Km dari kilang. Perkebunan kopi dan pinus mulai berproduksi pada tahun 1930-an. Keterangan ini diutarakan oleh cendikiawan Gayo, Prof. Alyasa’ Abubakar, MA dalam pengantar buku “Catatan Pahala, Muhammad Ali Wari, Bandar Publishing 2010”.

Belanda membangun areal perkebunan teh seluas 15.000,- hektar, terletak Ponok Sayur, Ponok Baru, dan Redlong, Ibukota Kabupaten Bener Meriah. Mulai berproduksi awal 1940-an.

Teh “Redlong” sangat terkenal di Eropa sebelum Perang Dunia II karena rasanya yang istimewa.

Masyarakat Gayo yang semula berkutat dengan dunia pertanian sawah, nelayan danau, lambat laun beralih ke perkebunan kopi.

Tapi usaha perkebunan kopi sempat terlantar menyusul masuknya Jepang pada 1942. Usaha perkebunan kopi rakyat di Gayo baru berkembang setelah zaman kemerdekaan,terutama setelah selesainya konflik Darul Islam (DI/TII) tahun 1953-1960-an dan peristiwa G30S PKI.

Sejak itu, sampai sekarang masyarakat Gayo mulai mengandalkan kopi sebagai komoditas utama. Lahan perkebunan berkembang signifikan hingga kini mencapai 80.000,- hektar lebih.

Aktivitaa berkebun kopi kembali terganggu saat konflik Aceh pada 1997-2005. Gangguan keamanan membuat masyarakat tak berani ke kebun. (***)

Ditulis Fikar W Eda
Jurnalis Serambi Indonesia sekaligus pecinta dan pegiat Kopi asal Gayo

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini