TRIBUNNEWS.COM - Mahkamah Kehormatan Dewa (MKD) akhirnya harus mengkhianati sendiri misi utamanya yaitu menjaga kehormatan dan keluhuran martabat dewan.
Anggota dan pimpinan MKD kini lebih memilih menjadikan MKD sebagai mesin penghancur Kehormatan dan Keluhuran Maryabat Dewan, dalam penanganan kasus pelanggaran Etika papa minta saham,Setya Novanto.
Akibatnya, MKD dan Institusi DPR telah kehilangan segala-segalanya hanya karena seorang Setya Novanto.
MKD kini telah kehilangan kemandirian, kehilangan netralitas, kehilangan wibawa.
Bahkan MKD kini telah kehilangan Kehormatan dan Keluhuran martabatnya dengan menabrak rambu-rambu hanya karena ingin menyelamatkan dan membebaskan Setya Novanto dari tuduhan melanggar etika yang mengancamnya dengan ancaman pemberhentian dari keanggotaannya sebagai Anggota DPR sekaligus jabatannya sebagai Ketua DPR RI.
Publik bahkan kita semua merasa ditipu oleh MKD dengan intrik-intrik dan manuver-manuver murahan yang dipertontonkan selama persidangan perkara pelanggaran Etika "papa minta saham" yang menyeret Setya Novanto, Ketua DPR RI, Anggota DPR RI dari dapil NTT II sebagai teradu atas pengaduan Menteri ESDM Sudirman Said.
Intrik-intrik dan manuver murahan yang dipertontonkan MKD sejak awal persidangan adalah:
Pertama, beberapa kali terjadi bongkar pasang anggota MKD, saat menjelang dan selama persidangan.
Kedua, adanya instruksi dari pimpinan Fraksi-Fraksi kepada anggotanya yang duduk di dalam MKD untuk membela dan menyelamatkan Teradu Setya Novanto.
Ketiga, adanya pertemuan 3 (tiga) anggota MKD dengan Luhut B Panjaitan saat jumpa pers menjelang hari pemeriksaan Luhut di MKD.
Keempat, Pemeriksaan Setya Novanto apakah sebagai saksi atau teradu dilakukan secara tertutup disertai dengan penyerahan nota pembelaan (seharusnya nota pembelaan dibacakan setelah seluruh alat bukti dan Teradu diperiksa).
Kelima, MKD serta merta memutuskan untuk tidak memutus pokok perkara dan menjatuhkan sanksi atas pelanggaran atau menggugurkan pengaduan Pengadu, dengan alasan Setya Novanto telah mundur dari jabatan Ketua DPR.
Di dalam Pasal 9 Peraturan DPR Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Tata Beracara, disitu disebutkan bahwa Pengaduan pelanggaran tidak dapat diproses jika Teradu :
-meninggal dunia;
-Telah mengundurkan diri atau ditarik keanggotaannya oleh Partai Politik.
Yang harus dicermati dari substansi norma Pasal 9 diatas adalah apakah pada saat MKD memutuskan untuk tidak memproses lebih lanjut persidangannya, Setya Novanto dalam keadaan "telah meninggal dunia" atau "telah mengundurkan diri sebagai Anggota DPR atau ditarik keanggotaannya oleh Partai Politik".
Kedua peristiwa tidak terjadi bahkan dihindari sejauh mungkin terutama oleh Setya Novanto.
Di sini lagi-lagi terjadi manuver yang dilakukan oleh Setya Novanto dan MKD dengan cara yang tidak elok dan mengelabui publik, berupa munculnya surat pernyataan pengunduran diri Setya Novanto dari jabatan sebagai Ketua DPR yang ditujukan kepada Pimpinan DPR dan tembusannya disampaikan kepada MKD.
Sikap MKD yang serta merta setuju untuk menggugurkan Pengaduan Pengadu Sudirman Said dan memutuskan untuk tidak meneruskan persidangan dengan acara pembacaan putusan penjatuhan sanksi, hal ini jelas merupakan perbuatan yang bukan hanya melanggar Kode Etik Anggota Dewan, tetapi juga merupakan Perbuatan Melanggar Hukum.
Hal itu terjadi karena surat pengunduran diri Setya Novanto bukan untuk mundur sebagai anggota DPR melainkan sebagai Ketua DPR.
Itupun tidak ditujukan kepada MKD melainkan kepada Pimpinan DPR.
MKD harus memverifikasi lebih lanjut dalam persidangan MKD, baik kepada Setya Novanto maupun kepada 4 (empat) orang Pimpinan DPR RI lainnya, apakah surat pengunduran diri dimaksud benar-benar ditulis sendiri, apakah ditulis dalam keadaan bebas/tidak dalam tekanan politik dan apakah mundur sebagai Ketua atau sebagai Anggota DPR.
Begitu juga kepada Sudirman Said sebagai pengadu harus didengar pendapatnya terlebih dahulu dalam persidangan yang terbuka untuk umum tentang bagaimana sikapnya, karena bagaimanapun Sudirman Said sebagai Pengadu ketika mengadu mengatasnamakan kepentingan umum dan kepentingan martabat Dewan, bukan atas nama dan untuk kepentingan pribadi Sudirman Said.
Dari berbagai pelanggaran, manuver dan intrik-intrik sebagaimana digambarkan diatas, maka MKD dan Setya Novanto patut dinilai sebagai telah melakukan Pengkhianatan terhadap rasa keadilan publik dan juga kepada Kode Etik, sebagai norma yang wajib dipatuhi.
Pengkhianatan itu dilakukan pada saat MKD bertindak demi menjaga martabat, kehormatan, citra dan kredibilitas DPR, sehingga dengan demikian kata-kata yang tepat adalah MKD sudah berubah fungsi menjadi mesin penghancur Kehormatan dan Keluhuran Martabat Dewan.
Akhirnya masyarakat dan Sudirman Said sudah harus berpikir untuk menggugat sikap MKD dan Setya Novanto atas belum tuntasnya MKD menjalankan tugas menyidangkan pelanggaran Etika Setya Novanto, menggugat pengkhianatan terhadap norma yang mengatur tugas-tugas pokok MKD dan lebih daripada itu pengkhianatan terhadap harga diri dan rasa keadilan rakyat yang diwakili yang menuntut DPR bersih, beretika dan bebas dari KKN.
Ditulis oleh Petrus Selestinus, Advokat Peradi dan Koordinator TPDI.