Oleh: Bambang Bider
TRIBUNNEWS.COM - Setya Novanto ingin dirinya "tetap merasa terhormat" dengan mengundurkan diri sebagai Ketua DPR RI. Tuntutan dari 10 anggota MKD agar Setya Novanto dicopot sebagai Ketua DPR RI karena pelanggaran etik kategori sedang.
Namun 7 anggota MKD lainnya melihat ini dalam kategori berat jadi harus diberhentikan sebagai anggota DPR RI.
Kemudian awam mencermati, MKD tidak menjalankan fungsinya, dengan tidak menetapkan status Setya Novanto. Artinya tidak ada apapun yang dilanggar Setya Novanto dan dia masih merasa berhak mengemban amanah rakyat Indonesia walaupun sebenarnya telah kehilangan kehormatanya.
Sidang "buka tutup" dan adu mengadu sesama anggota MKD mempertontonkan kepada awam drama action "pertarungan silat" lengkap dengan tokoh protagonis, antagonisnya dan figuran yang mereka reka dan mainkan sendiri dipanggung yang bernama MKD. Ya, itu memang panggung mereka.
Dalam sebuah peran, tokoh protagonis harus diciptakan kalau tidak, tidak seru sebagai pemain utama. Dan pemain utama itu bernama Setya Novanto. Dialah jagoannya. Dialah pendekarnya. Dialah yang bermain.
Dalam kacamata MKD, Setya Novanto adalah pusat drama ini. Dia harus dilihat sebagai orang yang berjuang untuk membuktikan dirinya bukan seperti apa yang diadukan. Dia memposisikan diri sebagai "korban". Walau alur cerita ini menghina akal sehat rakyat yang lebih melihatnya secara antagonis.
Karena dengan melihatnya sebagai korban, kita diharapkan permisif terhadap apa yang terjadi pada tokoh utama. Dengan mengundurkan diri dan tidak mendapat sanksi, Novanto benar-benar telah menjadi tokoh protagonis yang menang. Dan siap dengan berkata "I will be back". Siap bermain kembali.
Dalam drama pengunduran diri Novanto yang kemudian diterima oleh MKD, peran protagonisnya semakin nyata, bahwa dia menegaskan "ini tidak seperti yang diadukan" dirinya lolos. Bahkan dia kelak masih bisa "etis" dengan sepak terjangnya yang sama dan mungkin lebih parah di masa mendatang. Dia telah menetapkan presiden bagi anggota dewan yang terhormat lainnya bahwa perilakunya sangat etis. Toh dia tidak disanksi. Dia memberi kesan bahwa dirinya "tahu diri" dengan mengundurkan diri saja.
Nah, mereka dengan semena-mena membangun standar adab budaya mereka sendiri. Memutar balik logika, yang hanya mereka sendiri saja yang faham. Dan berharap kita memaklumi ayolah memang seperti itulah mereka. Ya, memang mereka seperti itu para tuan yang mulia.
Tokoh protagonis yang disodorkan lembaga MKD yang terhormat ini parahnya menghina akal sehat rakyat. Rakyat kembali "melongo" atas alur cerita yang dipaksakan. Akal sehat ditundukan karena rakyat tidak lebih hanya figuran, yang tentu saja tidak penting.
Setya Novanto lolos dari "vonis" dan perbuatannya tetap dianggap etis. Dan dia masih di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat yang terhormat dimana pada saatnya tiba nanti, akan sekali lagi berkata, "I will be back".
Penulis Aktivis NGO