Akan tetapi, Taufiqulhadi mengingatkan kepada pemerintah agar pemberian amnesti bukanlah janji belaka. Menurut Taufiq, upaya perdamaian dengan kelompok Din Minimi ini akan menjadi preseden bagi kelompok-kelompok bersenjata lain yang ingin berdamai dengan pemerintah Indonesia.
Jika proses perdamaian berjalan baik, dan Din Minimi akhirnya mendapat amnesti, kemungkinan akan ada kelompok-kelompok lain menyerahkan diri kepada pemerintah.
Sebaliknya, jika pemerintah tak menepati janji pemberian amnesti, kelompok-kelompok bersenjata yang selama ini masih sering melancarkan aksinya, akan menutup opsi untuk berdamai dengan pemerintah.
Upaya Presiden Jokowi menghadapi kelompok separatis dengan pendekatan soft approach (politik, diplomasi) ini, menurut Taufiq, akan lebih efektif dibanding pendekatan hard approach (kekuatan bersenjata).
Meskipun begitu, Taufiq menegaskan bahwa pemerintah terlebih dulu harus melakukan pemetaan terhadap kelompok-kelompok bersenjata yang ada.
Dia mencontohkan eksistensi kelompok Santoso di Poso, yang notabene merupakan kelompok teroris.
Kelompok teroris ini, jelas tidak bisa disamakan dengan kelompok separatis, dan tidak bisa difasilitasi dengan pendekatan amnesti.
Dalam penilaiannya, aksi kelompok Santoso merupakan tindak pidana sangat berat dan telah menganggu keamanan secara umum, sehingga harus ditindak sepenuhnya oleh pihak kepolisian.
Kepada publik secara luas, Taufiq juga berharap agar tak mempersoalkan wacana pemberian amnesti pemerintah terhadap Din Minimi.
“Setelah pemberian amnesti dikaji dan diputuskan secara seksama, publik harus melihat itu dalam konteks kepentingan negara yang lebih baik. Maka bagi saya, tak masalah amnesti diberikan kepada kelompok-kelompok yang dicap sebagai separatis,” ucapnya.