Negara berkembang seperti Brasil, lanjutnya bahkan mencetak rekor baru di tahun 2014 dengan peningkatan luasan tanaman biotek sekitar 1,9 juta hektar dari tahun 2013, menduduki peringkat kedua selama enam tahun berturut-turut di bawah AS.
Sementara negara miskin Bangladesh, telah menyetujui komersialisasi Terong Bt Brinjal pada 30 Oktober 2013 dan berselang kurang dari 100 hari setelah persetujuan, para petani kecil menanam Terong Bt pada 22 Januari 2014.
Sedangkan India mencatat 11,6 juta hektar lahan tanaman bioteknologi dan memiliki laju adopsi 95% untuk kapas bioteknologi. Lantas, bagaimana dengan Indonesia?
"Di Indonesia sendiri, beberapa institusi penelitian telah mengembangkan tanaman bioteknologi. Namun upaya penamaman tanaman bioteknologi secara komersial saat ini sedang menjalani pengkajian keamanan hayati yang dilakukan oleh Komisi Keamanan Hayatibeserta tim teknisnya. Pemerintah memang sangat berhati-hati untuk masalah ini, karena sekali sudah dilepas, maka tidak dapat ditarik kembali. Namun, status ini penting untuk para peneliti, karena pasti peneliti akan lebih bergairah jika ada kejelasan tentang masa depan bioteknologi di Indonesia," ungkapnya.
Kejelasan status ini juga ditunggu oleh para petani. Ketua Kontak Tani Andalan (KTNA), Winarno Thohir mengatakan petani tengah menunggu political will dari pemerintah terkait tanaman bioteknologi ini.
"Petani sangat berharap bioteknologi bisa diterapkan di Indonesia. Untuk menjaga kedaulatan pangan, Indonesia memerlukan Gen(etic) Revolution, karena lahan yang tersedia hanya lahan-lahan marjinal dan ekstensifikasi sudah tidak memungkinkan lagi. Petani Indonesia menunggu political will dari pemerintah untuk dapat segera menyetujui adopsi benih bioteknologi di Indonesia," tegasnya.
Pasalnya, lanjut Winarno, bioteknologi merupakan inovasi yang mempunyai kemampuan untuk mengatasi perubahan iklim.
Teknologi bioteknologi bisa dirakit sesuai kebutuhan petani dan dirakit kandungan nutrisinya agar lebih baik, umur pendek dan mengurangi pupuk kimia dan mengurangi pestisida.
Sedangkan Herry Krisnanto, praktisi industri benih melihat bioteknologi sebagai solusi terhadap keamanan pangan. Pasalnya kebutuhan pangan dunia akan meningkat sebesar 70 persen di masa mendatang. Karena populasi penduduk dunia terus bertambah.
"Perlu adanya peningkatan produksi tanaman pangan hingga 90 persen dengan cara meningkatkan intensitas produksi lahan antara lain melalui peningkatan jumlah dan kualitas benih," papar Corporate Engagement Lead Monsanto Indonesia ini.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Komisi Keamanan Hayati, Prof Agus Pakpahan mengungkapkan Indonesia melihat bioteknologi tidak hanya sebagai salah satu instrumen strategis untuk masa depan keamanan pangan dan keberlanjutan lingkungan namun juga solusi tepat untuk Negleted Tropical Diseases (NTD) atau penyakit endemic antara lain seperti deman berdarah dan kaki gajah.