MENANGGAPI berbagai respon terhadap keberadaan Support Group and Resource Center On Sexuality Studies (SGRC) yang diduga kuat merupakan kampanye LGBT di kampus Universitas Indonesia (UI) dan kampus-kampus besar lain, Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia menyatakan:
1. Hendaklah seluruh komponen masyarakat mewaspadai ekspor sistematis penyakit kaum Luth ke negeri-negeri muslim.
Setelah pengesahan perkawinan sejenis di AS tahun lalu nampaknya upaya kampanye LGBT semakin menunjukkan keberanian.
Ada dukungan dana dan opini dari lembaga-lembaga dunia dan media-media Barat yang liberal untuk menyebarkan kerusakan ini di negeri-negeri muslim.
AS bahkan secara serius mendanai program baru bernama “Being LGBT in Asia” yang diluncurkan oleh UNDP dengan pendanaan 8 juta dolar As dari USAID dan dimulai Desember 2014 hingga September 2017 mendatang.
Program ini fokus beroperasi di Asia Timur dan Asia Tenggara khususnya di Tiongkok, Indonesia, Filipina dan Thailand, dengan tujuan meminimalisir kendala bagi kaum LGBT untuk hidup di tengah masyarakat.
Program berbahaya ini sangat aktif dalam memberdayakan jaringan LGBT di lapangan untuk mengokohkan eksistensi mereka secara struktural dan kultural di negeri-negeri sasaran.
Tujuan tidak lain adalah merusak identitas generasi muslim, menghancurkan jati dirinya dan bahkan bisa menjadi politik depopulasi.
Beredarnya foto perkawinan sesama jenis di Bali, juga berbagai sosialisasi terbuka kaum LGBT ke berbagai kampus yang dikemas dalam forum-forum diskusi ‘intelektual’ dan sejenisnya sebagaimana dilakukan SGRC, mengisyaratkan semakin besarnya ruang gerak kerusakan mereka karena dukungan kondisi sosial dan politik Indonesia.
Masyarakat yang semakin permisif terhadap penyimpangan perilaku dan mengadopsi faham kebebasan-HAM karena memberlakukan sistem demokrasi adalah penyebab makin tumbuh berkembangnya perilaku LGBT dan makin besarnya ancaman kerusakan yang ditimbulkannya bagi masyarakat.
2. Tidak cukup hanya dengan penolakan (resistensi) dari masyarakat dan pelakunya tidak bisa dihentikan dengan dialog ilmiah.
Meski Munas MUI 2015 telah tegas melarang keberadaan mereka, namun arus global dan dukungan system yang ada tetap mengembangkan kerusakan mereka.
Mengerikan sekali, UNDP 2015 ‘Being LGBT in Asia’ melaporkan terdapat 119 organisasi pendukung LGBT yang tersebar di hampir semua provinsi di Indonesia.
Maka penolakan terhadap LGBT semestinya diikuti dengan pemberantasan penyakit LGBT hingga ke akarnya, yakni meninggalkan sistem demokrasi, menghapus faham kebebasan-HAM dan menggiatkan budaya amar makruf nahi munkar di tengah masyarakat.
Tanpa itu undang-undang yang saat ini masih melarang perkawinan sesama jenis akan segera berganti dengan legalisasi perkawinan sejenis karena besarnya arus global yang mendukung usaha kaum LGBT. Naudzu billahi.