Ditulis oleh : Fraksi NasDem
TRIBUNNERS - Proyek pengembangan infrastruktur pemerintah dihujani kritik oleh anggota Komisi V dalam Rapat Kerja dengan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan, Selasa (26/01/2015).
Salah satu yang menjadi perdebatan adalah soal Kereta Trans Papua dan Kereta Cepat Jakarta - Bandung.
Anggota Komisi V dari Fraksi NasDem Ahmad M Ali meminta Kementerian Perhubungan menimbang kembali urgensi proyek kereta Trans Papua yang menghubungkan Kota Sorong sampai Jayapura sepanjang 595 Km.
Pasalnya, proyek yang ditaksir menelan biaya Rp 10,6 triliun ini bisa jadi mubazir apabila tidak terencana dengan baik.
"Nah, berbicara Trans Papua, Saya pikir pertanyaan besarnya apakah itu hal yang mendesak? Apakah persoalan yang dikeluhkan seperti kemahalan harga kebutuhan pokok disebabkan transportasi? Bagi Saya bukan itu masalahnya," ujar pria yang akrab disapa Mat Ali ini.
Lebih lanjut Mat Ali menjelaskan, konektivitas antar kota di Papua secara kontur geografis sangat sulit dikembangkan dengan menggunakan kereta.
Letaknya yang memiliki banyak gunung serta berbukit menambah ruwet pola pengembangan jalur transportasi di Papua.
Dia juga mencoba mengurai benang kusut logika pemerataan pembangunan versi pemerintah yang dinilainya sangat kacau.
"Saya berharap Kemenhub bisa menahan syahwat keinginan. Karena logika pemerataan itu bukan karena di Sulawesi minta rel kereta, lantas Papua juga seperti itu. Tapi manfaat dan kegunaan pembangunan itu sendiri yang harus dilihat," katanya.
Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang sudah diresmikan pembangunannya oleh Presiden Joko Widodo-pun tidak luput dari kritikan.
Posisi Kementerian Perhubungan sebagai regulator, tidak mempunyai tugas pokok dan fungsi (tupoksi) yang jelas dalam proyek megastruktur ini. Malah bagi Mat Ali, Kementerian Perhubungan tidak ubahnya seperti penonton saja menyaksikan para “pemain” menjalankan proyek senilai 5,573 miliar dolar AS ini.
Dia mengingatkan agar jangan sampai keputusan membangun megaproyek kereta cepat ini dibuat gegabah dan tergesa-gesa. Pasalnya mekanisme regulator dan supervisi kereta cepat beririsan dengan kementerian lainnya.
"Perlu dikaji kembali kalau tetap mau melanjutkan. Yang bertanggung jawab seharusnya Menteri Perhubungan bukan Menteri BUMN. Jadi Menteri Perhubungan jangan hanya tukang stempel mengeluarkan izin, tapi pada akhirnya tidak ikut mengawasi," katanya.