Pengamat hukum tata negara ini mengatakan pembentukan hukum harus memenuhi rasa yang baik dan pantas bagi kehidupan bersama.
"Hukum yang baik adalah hukum yang memenuhi keadilan dan kebaikan bersama,” katanya.
Menurutnya, DPR sebagai refleksi kedaulatan rakyat seharusnya mempertimbangkan rasa keadilan dan kebaikan masyarakat.
“Setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Jika RUU itu tidak mendapat persetujuan bersama, RUU itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu. Ini cermin mekanisme checks and balances dalam konstitusi kita. Tidak ada cabang kekuasaan yang merasa superior,” katanya.
Menurut Benny, skenario perubahan UU KPK ini adalah agenda utamanya delegitimasi KPK. Mengingat selama ini KPK selalu menunjukkan supremasi hukum dalam hal pemberantasan korupsi di cabang kekuasaan legislatif, yudikatif, dan eksekutif.
Berdasarkan catatan RPI, demikian Benny, sejarah delegitimasi lembaga antikorupsi seperti KPK merupakan pola berulang.
"Sudah ada tujuh institusi pemberantasan korupsi patah tumbuh hilang berganti di republik ini. Empat di antaranya sengaja dimatikan setelah mencoba agak keras menyeret penguasa dengan delik korupsi," katanya.