Ditulis oleh : Ade Saktiawan
TRIBUNNERS - Kurang lebih beberapa hari lagi sinema yang ditunggu-tunggu penikmat film di Indonesia akan segera tayang. Setelah sempat melintas melalui mini drama via LINE, trailer film Ada Apa Dengan Cinta 2 resmi tayang di kanal Youtube sebagai pembuka jalan sebelum film ini tayang serentak di bioskop-bioskop tiga negara (Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam).
Sambutan dari publik tentu sudah jauh berbeda saat ini dibandingkan seri pertama film ini waktu tayang perdana di tahun 2002.
Ariel Heryanto (2015) menyebutkan bahwa kaum muda perkotaan saat ini tengah melonjak jumlahnya. Tentu saja melonjaknya kaum muda perkotaan ini juga berbanding lurus dengan melonjaknya fasilitas-faslitas hiburan seperti mal ataupun bioskop.
Pertumbuhan jumlah kaum muda atau kelas menengah dan bioskop ini tentu akan semakin membuat situasinya berbeda saat AADC di tahun 2002 dibanding dengan AADC 2 tahun 2016.
Kaum muda yang nyaris memiliki kesamaan kultural itu, lebih lanjut dijelaskan oleh Ariel Heryanto bahwa selain jumlah mereka bertambah, dan suara mereka juga amat lantang di ruang publik.
Tulisan ini sesungguhnya tak bermaksud melacak kembali perpanjangan waktu dari peperangan sinematik yang dibahas secara detail di buku Identitas dan Kenikmatan (2015).
Sebab film ini sudah terlanjur liberal sejak awal.
Sementara pertempuran sinematik yang dimaksud adalah pertempuran budaya layar post Islamisme (konservatif lawan liberal di dalam tubuh Islam) melalui film-film bergenre (sok) religius.
Anti tesa dari tulisan ini juga tidak orisinil sama sekali.
Ide dari tulisan ini mencoba mereproduksi kembali salah satu artikel di jurnal filsafat Cogito oleh Fadhila Rachmadani yang mengangkat gagasan feminisme eksistensial Prancis ala Simone De Beavoir dalam Film Mona Lisa Smile.
Sekilas tentang feminisme eksistensial, perempuan dalam ruang sosial bisa terlengkapi secara eksistensial jika perempuan menjadi subyek yang utuh, artinya perempuan memegang kendali atas berbagai keputusan yang diambilnya.
Menurut De Beavoir, terdapat tiga subyek perempuan dalam gagasan feminisme eksistensial, yaitu perempuan sebagai subyek moral, perempuan sebagai subyek dominan, dan perempuan sebagai subyek eksisten.
Dari trailer film Ada Apa Dengan Cinta 2 yang berdurasi tidak lebih dua menit ini, ketiga subjek (moral, dominan dan eksisten) sangat menarik kita lacak melalui pemeran utama perempuan yaitu Cinta yang diperankan oleh Dian Sastrowardoyo.
Bagi yang belum menyaksikan trailernya ini linknya https://www.youtube.com/watch?v=3c_McS4_2A8
Pembicaraan serius antara Rangga dan Cinta di sebuah café (tepatnya ada di menit 01:18), Rangga dengan (seperti biasa) cool dan percaya diri berkata kepada Cinta, “Apa yang saya lakukan ke kamu (Cinta) itu gak adil."
Cinta pun langsung menimpali sebongkah pengakuan dosa Rangga (mungkin karena kejengkelan yang sudah berada di titik paling kulminatif), pernyataan yang dilontarkan Cinta sudah sangat siap, “Rangga, yang kamu lakukan ke saya itu jahat."
Pernyataan “politik” Cinta ke Rangga ini bisa tersimpulkan, apakah Cinta menyatakan dari tidak adil ke jahat adalah sebentuk sikap bahwa Cinta adalah sosok yang-menurut De Beauvoir-lemah, tidak rasional dan bergantung kepada keputusan orang lain (dalam hal ini penantian beberapa purnama ke Rangga).
Ataukah Cinta menimpali tuduhan jahat ke Rangga, ingin menunjukkan bahwa perempuan sebagai subyek dominan, yang artinya keputusan Cinta mengatakan Rangga itu penjahat berasal dari keinginan pribadinya sebagai subjek yang otonom, Cinta tidak lagi mempertimbangkan curhatan-curhatan keempat sahabatnya.
Baiklah, namanya juga menebak, ide dari tulisan ini kemungkinan bersambung dan akan diperbaiki setelah tanggal 28 April 2016, penayangan perdana Ada Apa Dengan Cinta 2.
Tapi kalau tulisan ini tak berlanjut berarti saya tidak ke bioskop dan menunggu film ini tayang di stasiun televisi swasta saja.