Dari sisi struktur, DPD ini mirip dengan model bikameral Inggris di mana parlemen dibagi dua bilik, yakni majelis rendah (House of commons) tan majelis tinggi (House of Lord).
Model serupa juga diterapkan di Amerika Serikat (AS), di mana parlemen dibagi menjadi Senat dan DPR AS (House of Representatives).
Uniknya, menurut Presiden Ferrari Indonesia ini, pembagian parlemen Indonesia menjadi dua kamar ini tidak diimbangi dengan regulasi yang selaras.
Kewenangan DPD di Indonesia sangat jauh lebih minimalis dibanding kewenangan Senat di AS yang berwenang meratifikasi perjanjian luar negeri, mengonfirmasi pengangkatan anggota kabinet, hakim-hakim federal, perwira militer, dan pejabat-pejabat tinggi negara federal lainnya.
Sinkronisasi konsep ketatanegaraan dengan kewenangan lembaga negara, khususnya DPD ini, menurut Roni harus dimulai dengan inisiasi amandemen UUD 1945.
"Amandemen UUD bisa juga menjadi opsi, baik itu untuk memperkuat atau bahkan membubarkan DPD. Di Indonesia ini semua ditumpahkan ke DPR, DPD hanya berkutat pada urusan otonomi daerah saja,” tuturnya.
Meski pun begitu, Ahmad Sahroni menekankan, bahwa dalam konteks kepentingna bernegara saat ini, kita tidak bisa sekonyong-konyong berbicara pembubaran secara sporadis.
Wacana itu menurutnya perlu ditilik kembali dengan konsep teoritis tata negara yang kita anut. Posisi DPD sebagai kamar kedua di Parlemen mensyaratkan porsi yang sejajar dengan DPR dan MPR.
"Harus juga kita pertimbangkan untuk memperkuat, untuk bisa menyempurnakan lembaganya. Ini alasan kenapa masyarakat melihat DPD gak ada kerjanya," katanya.