Oleh: Dody Susanto
Direktur Klinik Pancasila
TRIBUNNEWS.COM - Pembahasan tentang apa itu pikiran telah menempuh perdebatan yang sangat panjang oleh masing-masing kelompok disiplin ilmu dengan keyakinannya masing-masing. Keberbedaan itu sangatlah wajar mengingat perkembangan pemikiran di setiap zaman dan pada tiap-tiap diri manusia tidaklah sama. Secara umum, pandangan-pandangan yang ada tentang pikiran. Pandangan-pandangan yang ada hampir semua menyatakan tentang adanya pikiran di alam semesta. Perbedaaan terjadi pada pemetaan antara pikiran dan tubuh, dimana semua paham dualisme memandang adanya dua entitas yaitu pikiran dan tubuh, sedangkan pada paham idealism/solopsism memandang bahwa semua yang ada ini adalah akibat adanya pikiran semesta.
Pikiran di alam semesta dapat dipandang sebagai suatu entitas yang mengendalikan berbagai fenomena yang ada di dalam alam semesta ini sehingga alam semesta ini mempunyai sifat dan perilaku baik yang teratur maupun yang tidak teratur yang terwujud pada berbagai benda atau makhluk yang ada di dalamnya. Bentuk keteraturan dan ketidakteraturannya ini pun juga merupakan suatu fenomena bekerjanya pikiran yang ada di alam ini. Bahkan keberadaan seluruh benda di alam semesta beserta sifat-sifat dan perilakunya pun juga merupakan suatu wujud pikiran semesta ibarat suatu objek pada game komputer yang sesungguhnya tak lain hanyalah suatu pemrograman objek dimana ia sesungguhnya adalah suatu algoritma saja, namun dalam hal ini adalah algoritma dari pikiran Bagi sebagian orang yang awam dengan sains mungkin agak sulit membayangkan bahwa alam semesta ini merupakan suatu pikiran yang dibuat oleh pikiran yang lebih berkuasa.
Sebagian besar orang terbiasa berpikir dalam platform materi sehingga ketika mendengar atau membaca kata “alam semesta”, yang muncul pada gambaran yang ada dalam pikirannya adalah suatu hamparan ruang yang sangat luas dimana terdapat berbagai benda yang mengisinya. Ini bukanlah suatu pemikiran yang salah karena hal tersebut memang merupakan bentuk pikiran yang bekerja dalam kesadaran materi. Ketika kita sudah mengkaji lebih jauh tentang pikiran, seiring dengan pemahaman yang ada, kesadaran kita pun akan mulai meluas ke arah pemahaman tentang apa itu materi dan mulai bekerja pada platform kesadaran pikiran.
Dalam kajian fisika modern dan fisika kuantum, keteraturan maupun ketidakteraturan perilaku benda atau kejadian di alam ini merupakan bentuk dari keberadan suatu kecerdasan yang bekerja di alam ini. Keberadaan benda-benda angkasa pada posisinya masing-masing dan dengan pergerakannya masing-masing menunjukkan adanya pikiran di alam semesta yang mengatur semua itu. Bahkan alam semesta sendiri bukanlah suatu wadah dari benda-benda yang dipersepsi ada di dalamnya.
Kata alam semesta sendiri pada hakikatnya bermakna segala bentuk fenomena baik berupa materi seperti benda-benda yang ada di sekitar kita dan yang sangat jauh keberadaannya maupun fenomena-fenomena imateri yang diketahui oleh manusia. Alam semesta pada dasarnya merupakan kumpulan atas apa yang mungkin untuk diketahui oleh pikiran baik yang sudah diketahui maupun yang belum diketahui.
Pada lingkup idealnya yang terbesar, pikiran yang mampu mengetahui seluruh keberadaan alam semesta ini disebut dengan pikiran semesta. Pikiran semesta inilah yang bekerja mempengaruhi seluruh pikiran yang ada pada tiap-tiap entitas yang lebih kecil di dalamnya, dan membentuk hierarki yang mengendalikan seluruh peristiwa dan aktivitas yang terjadi di alam ini. Sebagai contoh, sebuah daun jatuh dari pohon bukanlah sesuatu yang terjadi secara kebetulan, karena definisi kebetulan sendiri adalah suatu peristiwa yang murni secara random/acak, sedangkan keacakan itu sendiri adalah bentuk suatu program juga. Dalam pandangan Cognitive Science, daun yang jatuh dari pohon merupakan peristiwa yang terjadi karena adanya suatu pengendalian yang telah ditentukan sedemikian rupa berjalan melalui mekanisme pikiran-pikiran yang bekerja di alam ini atau yang biasa disebut sebagai hukum alam. Misalnya melalui pikiran (algoritma di alam) yang mempengaruhi pertumbuhannya sehingga menyebabkan daun itu tumbuh dan menjadi dewasa lalu menua, yang bersamaan dengan itu bekerja pikiran yang menyebabkan mekanisme angin bertiup menerpa daun
tersebut sehingga bekerja pula hukum fisika atas terjadinya gaya dorong antara daun dan angin yang menyebabkan daun itu terlepas dari dahannya, lalu bekerja pula suatu pengendalian atas gaya gravitasi yang menyebabkan daun yang terlepas dari dahannya itu terjatuh ke bawah dan tergeletak di atas tanah.
Penggambaran penjelasan daun jatuh di atas baru merupakan sepenggal dari contoh yang sangat sederhana dari cara kerja pikiran di alam semesta. Dalam bentuk yang lebih kompleks, kita dapat mengamati berbagai perilaku kawanan binatang saat mencari makanan, komunikasi antar orang yang sedang mengadakan jual beli, apa yang dipikirkan oleh dua kekasih yang sedang jatuh cinta, hingga berbagai fenomena pikiran lainnya yang lebih
kompleks dan melibatkan berbagai bentuk lain seperti kesadaran, emosi, persepsi, afeksi, dan sensasi yang terjadi pada tiap-tiap individu maupun dalam kaitannya pada pandangan yang lebih luas yaitu sosial. Tentu hal-hal semacam ini dapat saja dibantah oleh orang yang tidak mempercayai adanya pikiran universal yang mengatur alam semesta ini. Namun hal itu akan kita pahami nantinya seiring dengan terpahaminya berbagai fitur pikiran dan dalam kaitannya dengan kesadaran akan keberadaan yang akan dibahas pada bab-bab selanjutnya.
Sejauh ini masih banyak orang yang belum memahami apa itu kognisi, dan apa bedanya antara kognisi dan pikiran. Sebagian pakar pun juga banyak yang memandang kognisi sebagai suatu bentuk sadar dari pikiran, atau memisahkannya dengan emosi dan perintah saraf. Hal ini disebabkan karena pemahaman yang sudah umum dipahami adalah didasarkan pada taksonomi Bloom yang memetakan pikiran menjadi kognisi, afeksi, dan psikomotorik.
Padahal Bloom sendiri membuat istilah itu untuk pemetaan dalam ranah pendidikan atau pembelajaran, dan bukan untuk tujuan memetakan pikiran.
Dalam taksonomi Bloom yang digagas oleh Benjamin S. Bloom pada tahun 1956, tujuan pendidikan dibagi menjadi 3 ranah, yaitu ranah kognisi yang berisi perilaku-perilaku pikiran yang menekankan pada aspek intelektual, ranah afeksi yang berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek perasaan dan emosi, dan ranah psikomotor yang berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek keterampilan motorik. Dalam definisi Bloom, ranah kognitif terdiri dari 2 bagian yaitu pengetahuan (knowledge) dan kemampuan intelektual. Pada bagian kemampuan intelektual terdiri dari pemahaman (comprehension), aplikasi (application), analisis (analysis), sintesis (synthesis), dan evaluasi (evaluation). Pemetaan ranah afektif, disusun oleh Bloom bersama dengan David Krathwol yang menyatakan bahwa ranah afektif terdiri dari penerimaan (receiving/attending), tanggapan (responding), penghargaan (valuing), pengorganisasian (organizing), dan karakterisasi berdasarkan nilai-nilai (Characterization by a Value or Value Complex). Sedangkan ranah psikomotor, Bloom sendiri tidak memetakannya, melainkan pemetaan dilakukan oleh ahli lain yang membuat pemetaan berdasarkan taksonomi Bloom. Ranah psikomotor terdiri dari persepsi (perception), kesiapan (set), respon terarah (guided response), mekanisme (mechanism), respon tampak yang kompleks (complex overt response), adaptasi (adaptation), dan penciptaan (origination).
Apa yang dipaparkan oleh Bloom di atas bukanlah suatu hal yang salah karena dalam pikiran, suatu analisa fenomena pikiran dapat dilakukan dalam pemodelan apapun seperti halnya membangun suatu program aplikasi di komputer atau perangkat android. Antar program boleh membuat definisi tersendiri dan cara penggunaannya masing-masing. Dalam program desain visual misalnya, Anda akan menemukan program Photoshop, Corel Draw, atau yang sederhana seperti photopaint. Semuanya mempunyai fungsi yang kurang lebih sama dengan cara dan definisi penggunaan yang berbeda. Semuanya juga mempunyai keunggulan dan keterbatasan masing-masing dari sudut pandang tertentu. Pilihannya tinggal kembali kepada selera dan kecocokan penggunanya.
Cognitive Science mengkaji semua yang disebutkan di atas dalam ketiga ranah taksonomi Bloom dan meliputi juga hal-hal lain yang berkaitan dengan pikiran. Pemahaman tentang pikiran sebagai sesuatu yang menggerakkan segala kejadian telah menghantarkan kita pada pemahaman bahwa semua fenomena di alam semesta ini merupakan kerja dari pikiran. Seperti halnya sebuah permainan komputer, adanya hamparan alam beserta isinya, adanya aturan-aturan atas makhluk-makhluk yang mengisi hamparan alam tersebut baik berupa status, kemampuan, rupa, dan kejadian-kejadian yang terjadi pun tak lebih dari sebuah program algoritma kompleks yang bekerja pada permainan tersebut selama berlangsung. Pada program permainan itu, ketika suatu algoritma tertentu sedang bekerja, maka disebut bahwa program tersebut sedang menggunakan pikirannya atau dengan kata lain program tersebut sedang berpikir. Apa yang sedang dipikirkan oleh suatu pikiran inilah yang kita sebut sebagai kognisi, baik ia bekerja secara sadar maupun secara.
Dengan demikian, sama halnya dengan manusia, ketika kita mempersepsi sesuatu, maka pikiran kita bekerja, atau disebut kita sedang berkognisi. Ketika sedang menganalisa sesuatu kita berkognisi, ketika sedang belajar, kita berkognisi, bahkan ketika sedang merasakan sesuatu pun kita berkognisi. Pada bab selanjutnya akan dijelaskan bahwa semua yang dipersepsi oleh diri kita baik dalam bentuk rasa inderawi maupun rasa psikis, semuanya itu adalah kerja pikiran atau merupakan suatu kognisi. Bahkan dalam suatu kerja pikiran yang tidak kita sadari pun, pikiran kita tetap melakukan kognisi, hanya saja di luar pengendalian pikiran sadar. Contoh sinyal yang menyebabkan detak jantung, proses pikiran yang bekerja pada saat bernafas, perintah saraf simpatik dan parasimpatik pada organ pencernaan makanan, hingga proses pengeluaran enzim atau hormon dari kelenjar pun merupakan kognisi. Kognisi dalam definisi ini adalah suatu kerja pikiran atau dalam bahasa awamnya disebut dengan pemikiran. Pada bab selanjutnya, pemahaman ini akan diuraiaikan secara.
Dengan pemahaman ini, maka kognisi tak hanya merupakan kerja pikiran rasional yang disadari saja seperti ketika kita sedang memikirkan sesuatu secara sadar ataupun sedang belajar. Pada saat pikiran bekerja, meskipun secara tidak sadar seperti melakukan kebiasaan atau bersikap secara bawah sadar seperti cara duduk, cara menyikapi permasalahan, ekspresi wajah, dan sebagainya, kognisi tetap bekerja. Proses menyimpan ingatan
merupakan bentuk kognisi juga baik yang disadari maupun yang terjadi secara bawah sadar seperti mengingat lokasi atau mengingat wajah seseorang. Karena itu ruang lingkup kognisi akan sangat sulit untuk dibatasi hanya pada lingkup kerja pikiran sadar atau yang dilakukan dengan kesengajaan saja. Semua proses pikiran yang memberikan dampak pada diri adalah proses kognisi. Menggunakan bahasa komputer, kognisi adalah terprosesnya suatu algoritma oleh program, atau secara mudahnya dapat dikatakan bahwa kognisi adalah pemrosesan suatu algoritma yang ada dalam seluruh kumpulan program perangkat lunak. Oleh karenanya Cognitive Science pun membahas semua jenis kerja pikiran dalam arti luas tanpa ada batas.
Segala sesuatu yang mempunyai sifat dan perilaku menjadi bahasan dari Cognitive Science karena dimana ada sifat dan perilaku, di situ terdapat suatu algoritma yang bekerja membentuk suatu objek. Itu berarti bahwa pada setiap objek terdapat pikiran karena pikiranlah yang membentuk adanya suatu objek. Hal ini telah sangat jelas dikaji dalam computer Semesta Pikiran dan Pikiran Semesta.
Pikiran semesta merupakan pikiran tunggal atau suatu keberadaan sifat pengatur tunggal yang mengendalikan seluruh keberadaan lain di alam semesta. Pikiran ini tidak bekerja secara langsung mempengaruhi seluruh entitas yang lebih kecil yang ada di dalam lingkupnya, melainkan sebagian di antaranya diserahkan pada pikiran lain yang bekerja juga di alam ini dengan lingkup yang lebih kecil dan dalam dimensi tugas yang lebih spesifik. Pikiran lain yang bekerja secara lebih spesifik ini merupakan hasil ciptaan dari pikiran tunggal ini sebagaimana halnya AI dan robotika yang merupakan hasil kreasi atau ciptaan manusia yang diciptakan untuk melakukan tugas-tugas tertentu yang dibangun dengan kecerdasan-kecerdasan tertentu pula. Pikiran yang bertingkat ini membentuk hierarki yang kompleks yang mengisi seluruh peristiwa di alam semesta ini. Beberapa hierarki yang dapat dipetakan antara lain Pikiran somatik pada makhluk hidup
Pikiran rasional
Adapun pendefinisian dan pengelompokan atas bentuk-bentuk pikiran ini juga bersifat pendekatan bergantung pada sifat-sifat yang dilingkupinya seperti halnya pendekatan-pendekatan pada Cognitive Science itu sendiri karena pada dasarnya, ketika kita mengkaji pikiran secara menyeluruh, hanya akan kita temui satu bentuk pikiran saja di alam ini, sedangkan yang lain hanyalah bersifat pengelompokan dan pendefinisian saja agar lebih mudah untuk kita kenali dan kita kaji.
Pikiran menjadikan suatu sistem memiliki kinerja. Oleh karenanya, pikiranlah yang menjadikan suatu sistem atau makhluk merasakan keberadaannya. Dalam ungkapan yang sering kita dengar, Descartes, seorang filsuf Yunani mengatakan bahwa “Aku berpikir maka aku ada”. Secara AI dan robotika, hal ini juga dapat dibuktikan bahwa adanya program yang bekerja pada perangkat AI atau robot tersebutlah yang menjadikan AI ataupun robot mengenal keberadaan dirinya. Tanpa pikiran, tidak ada sesuatu pun di alam ini, dan kita tidak akan mengenal apapun, termasuk diri sendiri dan alam semesta. Tanpa algoritma, tidak ada suatu objek yang tersusun dari sifat dan perilaku. Sifat dan perilaku pun merupakan suatu pemrograman atau dalam bahasa umumnya, sifat dan perilaku pun merupakan suatu pikiran.
Pikiran dalam konteks alam semesta dan sebagai satu-satunya kecerdasan yang menyatakan keberadaannya di alam ini hanya dapat dipahami ketika ia bersifat kekal. Tanpa adanya kekekalan pikiran universal ini, terdapat kemungkinan bahwa alam ini tidak ada, dan terdapatkemungkinan bahwa pengetahuan itu tidak akan muncul atau kesadaran akan keberadaan itu sendiri bersifat relatif. Padahal kenyataannya, pengetahuan dan hamparan alam semesta yang kita ketahui telah ada, dan kesadaran akan konteks pikiran yang mampu melingkupi ruang dan waktu secara nyata dapat dipahami dan bersifat “make sense” secara ideal, maka kemungkinan ketidakkekalan dari pikiran yang tunggal itu menjadi suatu kemustahilan. Dengan kekekalannya, segala keberadaan pikiran-pikiran yang lain tercipta, dan dengan rancangan dari pikiran universal pula pikiran-pikiran tertentu mampu mengalami upgrading atau pembaharuan sehingga mampu mengenali pikiran universal yang menciptakannya.