Ditulis oleh : Moh Halil, Peneliti Literacy Politic Institute dan juga aktif dalam kajian Indonesian Culture Academy
TRIBUNNERS - Indonesia seperti yang kita ketahui bersama adalah negara argraris. Hal ini terlihat dari sebagian besar rakyatnya yang hidup dengan cara bertani.
Tidak hanya itu, sebutan negara agraris memang layak disematkan pada Indonesia, yakni karena luasnya lahan pertanian yang bahkan terkenal dengan kesuburan tanahanya.
Kesuburan tanah Indonsia ditandai dengan dapat tumbuhnya berbagai rempah-rempah, yang pada sejarahnya dengan alasan inilah Portugis datang ke Nusantara.
Pertanyaan kemudian muncul pada hasil pertanian akhir–akhir ini. Memang Indonesia pernah swasembada beras pada 1985.
Akan tetapi tidak dengan hari ini, Indonesia yang menyandang sebutan negara agraris dapat dikatakan hanya tinggal nama saja. Mungkin sebutan ini seakan mengada–ngada.
Tetapi jika dicermati sebutan negara agraris tersbut benar–benar tinggal fosilnya saja. Jangankan mengekspor hasil pertanian semisal beras, garam pun Indonesia masih tidak bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri. Keadaan tersebut sangata ironis mengingat Negara ini sangat subur dan kaya akan Sumber Daya Alam (SDA).
Untuk memajukan pertanian di negara ini tentu membutuhkan dukungan dari semua pihak. Terlepas dari hal tersebut yang paling dimungkinkan untuk merangsang dan memajukan kembali pertanian tidak lain adalah pemerintah.
Karena pada dasarnya ketidakberdayaan untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri sangat erat kaitannya dengan kebijakan pemerintah.
Pemerintah perlu sekiranya memberikan stimulus terhadap para petani dan bahkan pihak yang terkait untuk kembali membangunkan macan asia yang tertidur pulas. Langkah pertama dapat dimulai dari memberikan penyadaran kembali pada masyarakat tentang penting pertanian bagi kemajuan bangsa.
Tidak berhenti dalam hal ini, di lain sisi perlu juga pemerintah untuh memenanamkan kesadaran kepada rakyatnya semisal lewat pendidikan formal maupun yang lain, bahwa profesi tani bukanlah pekerjaan yang dipandang sebelah mata.
Langkah pertama oleh penulis dianggap sangat penting sebab kemajuan pertanian dimulai dari persepsi terhadap pertanian dan profesi tani itu sendiri.
Jika langkah pertama berhasil, maka dengan mudah pemerintah melanjutkan pada tahap kedua, yakni menciptakan sarjana-sarjana yang berkompeten dalam bidang pertanian. Hal ini bisa dilakukan dengan membuka jalur beasiswa pertanian bagi siswa yang ingin melanjutkan ke perguruan tinggi.
Mungkin saja hal ini sudah dilakukan oleh pemerintah, tetapi harus disosialisasikan ke berbagai penjuru negeri.
Ketiga, Pemerintah perlu untuk mendistribusikan tenanga–tenaga ahli pada setiap daerah untuk memberikan pelatihan terhadap para petani.
Dan bahkan tenaga ahli tadi dapat sekaligus melakukan penelitian jenis tanaman apa saja yang cocok untuk ditanam di daerah tersebut. Sehingga para petani semakin banyak pilihan dan tidak salah dalam menentukan tanaman yang dapat dengan mudah hidup di daerah tersebut. Tentunya hal ini dapat dilakukan ketika langkah kedua sudah diterapkan.
Selain tiga langkah tadi, pemerintah juga perlu memperhatikan para spekulan yang cenderung memeras keringat para petani dengan membeli hasil panen lewat harga murah.
Jangan sampai terjadi seperti apa yang dikatakan oleh sosiolog asal Jerman (Karl Marx), yakni terasing dari hasil karyanya sendiri, seperti petani yang tidak mampu membeli beras karena lebih mahal dari yang ia jual sebelumnya.