Ditulis oleh : Mike Brown, President Director of PT Uber Teknologi Indonesia and Regional General Manager of Uber, Asia Pacific, Australia and New Zealand
TRIBUNNERS - Ancaman parahnya kemacetan lalu lintas jalan yang seolah mengunci (gridlock) sudah di
depan mata bagi warga dunia, termasuk Indonesia. Saat ini saja kemacetan lalu lintas jalan sudah menjadi santapan sehari-hari para pengguna jalan di Ibu Kota Republik Indonesia itu.
Kemacetan terjadi lantaran komposisi jalan dan jumlah kendaraan bermotor amat tidak sebanding. Pertumbuhan panjang jalan hanya 0,01% pertahun, sedangkan pertumbuhan kendaraan bermotor berkisar 10-11% per tahun. Praktis, pada jam-jam sibuk, kemacetan tak bisa terbendung di kota berpenduduk 10 juta jiwa ini.
Data Ditlantas Polda Metro Jaya yang menaungi Jakarta, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jadetabek) menyebutkan, jumlah kendaraan bertambah 5.500-6.000 unit per hari. Dari jumlah tersebut, sepeda motor mencapai 4.000-4.500 per hari. Bayangkan, per hari.
Hingga akhir 2014, jumlah kendaraan di wilayah ini mencapai sekitar 17,5 juta unit. Dari total kendaraan bermotor, sepeda motor menyumbang sekitar 75% atau setara dengan sekitar 13 juta unit. Sementara itu, rasio jalan di Jakarta dibandingkan dengan total luas daratan Jakarta baru sekitar 7% pada 2014. Masih jauh dari ideal yang semestinya 12% dari total luas kota.
Saat ini, jumlah panjang jalan Jakarta sekitar 6,86 juta kilometer (km) atau setara dengan sekitar 42 juta meter persegi (m2), sedangkan luas daratan Jakarta sekitar 661 kilometer persegi (km2). Dari total panjang jalan sekitar 2% adalah jalan tol atau setara dengan 123 km.
Di sisi lain, penggunaan angkutan umum kian menurun, berdasarkan survey Jabodetabek Urban Transportation Policy Integration (JUTPI) tahun 2010, terlihat bahwa pada 2002 penggunaan kendaraan pribadi baru 33% dari total pergerakan di Jakarta.
Tapi, pada 2010 angkanya sudah menyentuh 50%. Hal itu berbanding terbalik dengan penggunaan angkutan
umum, yakni dari semula 42% menjadi tinggal 20%.
Data Ditlantas Polda Metro Jaya juga menunjukan bahwa ada sekitar 20 juta perjalanan perhari di Jakarta.
Ironisnya, mayoritas pergerakan itu diakomodasi kendaraan pribadi, baik mobil maupun sepeda motor. Maklum, 107 ribu angkutan. Itu pun terdiri atas angkutan barang dan angkutan orang.
Para komuter menghabiskan waktu rata-rata 3 – 4 jam sehari di dalam mobil akibat macet atau 60 persen waktu para pengendara dihabiskan dengan berhenti akibat macet.
Jika pertumbuhan kepemilikan kendaraan bermotor terus bertumbuh di level yang sama, pada 2020, gas rumah kaca di pusat kota Jakarta akan 2,35 kali lebih banyak dari level di tahun 2002, menurut studi (Japan International Cooperation Agency).
Masa depan transportasi yang berbasis manusia diharapkan mampu mengurangi kepadatan, polusi udara, dan parkir dengan memobilisasi lebih banyak orang dalam jumlah kendaraan yang lebih sedikit. Lalu, bagaimana kita bisa melakukannya dengan teknologi yang ada dalam genggaman kita, yakni melalui telepon pintar, bukan kendaraan swa kemudi.
Di tengah itu semua, kehadiran transportasi berbasis aplikasi online memberi alternatif pemenuhan hak bermobilitas warga kota. Seperti Uber yang dua tahun terakhir memberi layanan di Indonesia yang memudahkan pergerakan dengan didukung para mitra yang memiliki mobil.
Pengalaman di sejumlah kota di dunia memperlihatkan kehadiran Uber memberi manfaat luas dan signifikan bagi masyarakat, namun, perjalanannya mengalami hambatan dari regulator dan pelaku bisnis transportasi konvensional.
Kepunahan Jitney Akibat Regulasi
Sebenarnya resistensi regulator dan pelaku bisnis terhadap inovasi bisnis bukan hal yang baru, karena hal itu terjadi pada Jitney lebih dari seabad lalu yang berkembang dalam satu tahun namun berhasil dimatikan dalam 3 tahun akibat regulasi ketat yang berpihak pada kepentingan pebisnis.
Pada 1914, Jitney diciptakan atau ditemukan oleh seorang pria bernama Draper.
Dia adalah seorang penjual mobil dari Los Angeles, AS. Idenya muncul manakala dirinya sedang berkendara keliling Los Angeles, ia melihat sebuah trolley, yakni bus zaman dahulu.
Saat itu dia juga melihat antrean panjang orang-orang yang ingin menggunakan trolley untuk tiba ditujuan yang mereka inginkan.
Ketika itu Draper berpikir, bagaimana jika dirinya meletakkan sebuah tanda di mobil dan membawa mobil itu kemana mereka inginkan dengan harga satu Jitney (bahasa slang untuk nickel - satuan mata uang recehan di Amerika Serikat saat itu).
Ternyata, ide itu mendapat sambutan luas, tidak hanya di Los Angeles, tapi di berbagai kota di AS. Dalam satu tahun, yaitu 1915, ada 50.000 perjalanan sehari di Seattle dan 45.000 perjalanan per hari di Kansas. Lalu, 150.000 perjalanan per hari di Los Angeles.
Sebagai gambaran, saat ini atau 100 tahun kemudian, terdapat 157.000 perjalanan dengan Uber tiap harinya di Los Angeles.
Para pengendara trolley yang saat itu memonopoli transportasi, tentunya tidak senang dengan keberadaan dan kesuksesan Jitney. Dan, mereka berupaya keras di berbagai kota di AS untuk memastikan adanya peraturan untuk memperlambat pertumbuhan Jitney.
Hasilnya, lahirlah berbagai peraturan yang ditetapkan saat itu. Perizinan yang ditelorkan sering berbiaya besar.
Di sejumlah kota, pengemudi Jitney diharuskan berada di dalam Jitney selama 16 jam sehari. Di kota-kota lain, ada peraturan yang mengharuskan adanya dua pengemudi dalam satu Jitney.
Namun, ada satu peraturan yang sangat menarik, yakni mereka harus memasang lampu di atas kursi penumpang.
Sejarah membuktikan, dalam satu tahun Jitney berkembang luas, namun tahun 1919 menghilang akibat ketatnya regulasi.
uberPOOL
Saat awal hadir tahun 2010, Uber didirikan dengan niatan sederhana: bagaimana mendapatkan kendaraan dengan satu klik.
Lalu bisnis kami berkembang dan kami tertantang dengan ide memanfaatkan satu mobil untuk keperluan banyak orang, baik untuk perjalanan jarak dekat dan sedang juga perjalanan jarak jauh. Bila satu mobil dipakai dua orang atau lebih, biaya yang timbul bisa dibagi rata sehingga lebih ringan, konsep ini kami
sebut sebagai uberPOOL.
Setelah meluncurkan solusi carpooling ini di berbagai kota di dunia, seperti Chengdu, San Fransisco dan London, kami meluncurkannya di Jakarta, Indonesia pekan ini.
uberPOOL adalah sistem berbagi perjalanan di area urban, dimana satu hingga tiga pengendara yang memiliki tujuan sama berbagi kendaraan dan biaya perjalanan yang dikendarai mitra pengendara Uber. Penghematan bisa mencapai 50% dari tarif uberX dan lebih hemat dari tarif taksi biasa, pengendara bisa memaksimalkan waktu untuk melakukan perjalanan, dan kota-kota akan diuntungkan dengan berkurangnya kepadatan kendaraan, polusi dan parkir.
Kehadiran berbagi kendaraan atau perjalanan secara sporadis sudah hidup dalammasyarakat Indonesia.
Menyitir pandangan Bambang Susantono, pakar Perencanaan Infrastruktur dan Transportasi, komunitas berbagi ruang mobil mencerminkan karakter kegotong-royongan bangsa Indonesia. Dengan komunitas, transportasi masa depan tidak hanya mengandalkan teknologi atau persamaan kepentingan, namun juga kepedulian.
Inilah bekal transportasi masa depan yang canggih dan humanis.
Diharapkan, inisiatif ini bergulir di kota-kota lain di Indonesia dan dunia, karena semakin banyak orang berbagi kendaraan, semakin banyak penghematan, pengurangan kepadatan kendaraan dan polusi yang dihasilkan.
Sejauh ini, dampak dari kehadiran uberPOOL sangat positif, lebih banyak warga yang bepergian di kota itu, namun dengan jumlah mobil lebih sedikit. Contohnya di Los Angeles, dalam delapan bulan, terjadi pengurangan 7,9 juta mil perjalanan dan mengurangi 1,4 ribu metrik ton gas Karbon Dioksida yang dilepaskan ke udara.
Angka yang paling menggembirakan adalah, delapan bulan kemudian, tiap minggunya terdapat 100.000 orang
baru yang mengikuti Uber Pool. Sementara itu, saat ini, di Tiongkok terdapat 15 juta perjalanan dengan Uber PooL tiap bulan atau 5.000 perjalanan tiap hari.
Kami percaya, uberPOOL adalah cara yang dapat diandalkan sebagai alternatif transportasi untuk lebih banyak orang dengan kendaraan yang lebih sedikit, lambat laun kepemilikan mobil bisa ditekan bahkan dihilangkan. Bagi yang menumpang, akan merasakan kenyamanan seperti perjalanan dengan Uber, namun lebih murah. Bagi pengemudi, akan merasakan waktu lebih efektif dan potensi pendapatan lebih besar, sementara bagi kotakota akan merasakan peningkatan kualitas hidup dengan berkurangnya kepadatan
kendaraan, polusi dan kebutuhan lahan parkir. Sebuah pertemuan antara kenyamanan dan
keterjangkauan.
Namun, ada satu hambatan, yaitu regulasi. Tentu, kehadiran itu semua bisa bergulir bila regulasi yang ada justru tidak menghambat.
Regulasi semestinya diciptakan untuk mendukung kehadiran transportasi yang aman, nyaman, selamat, dan humanis.
Menengok kembali nasib Jitney. Coba Anda bayangkan apa yang terjadi jika Jitney bertahan hingga
sekarang? Bagaimana perubahan yang terjadi di kota-kota kita? Akankah kita punya lebih banyak taman hijau dibanding lahan parkir? Sayang kita telah kehilangan kesempatan itu.
Namun teknologi telah memberikan kita kesempatan baru.
Saya sangat senang dengan ide adanya kendaraan swa kemudi dan tidak sabar dengan kehadiran MRT dan LRT di Jakarta, namun apakah kita harus menunggu lima, 10 atau 20 tahun lagi untuk mewujudkan kota baru kita menjadi kenyataan? Dengan teknologi yang ada dalam genggaman kita saat ini, dan peraturan yang lebih cerdas, kita bisa mengubah tiap mobil menjadi mobil bersama, dan kita bisa merebut kembali kota-kota kita mulai sekarang.