Salah satu faktor penyebab perilaku konsumtif seperti yang saya ujarkan di atas yaitu naiknya tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia sejak tahun 2000, bahkan pada tahun 2014 grafik tingkat kesejahteraan dan turunnya minat untuk menabung bersilangan.
Sekilas terlihat hal di atas bukanlah hal yang buruk, namun meski sejak tahun 2000 kesejahteraan masyarakat Indonesia terus meningkat yang ditandai dengan peningkatan pendapatan perkapita, justru tidak seiring dengan angka Gross National Savings per GDP yang malah stagnan.
Tercatat, Gross National Savings per GDP Indonesia sebesar 30,87 persen. Angka tersebut di bawah China yang sebesar 48,87 persen, Singapura 46,73 persen, dan Korea 35,11 persen.
Hal ini terjadi karena lambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia yang bahkan tercatat hanya 4.7 % pada kuartal II 2015.
Disini saya tidak membahas lebih dalam lagi tentang GDP Indonesia, pertanyaannya apakah dengan budaya konsumerisme Indonesia sekarang ini benar – benar terjadi karena kesanggupan ekonomi mereka?
Apa jangan – jangan masyarakat kita rela melakukan hutang demi memenuhi hasrat konsumsi mereka? Jangan sampai kejadian kredit macet pada masa Orba yang disebabkan hutang para konglomerat terulang kembali oleh kredit macet konsumsi.
Oleh sebab itu, penting sekali untuk dapat mensosialisasikan dan mendidik agar masyarakat Indonesia bisa menabung dan berinvestasi. Mulailah membuat konsep keuangan pribadi maupun keluarga sehingga mampu mengatur keuangan lebih baik dan dapat membantu kita semua untuk tidak menjad masyarakat yang memiliki budaya konsumerisme.