Oleh KH Cholil Nafis dari Tokyo
Sudah beberapa hari ini saya menjalani puasa di negeri Matahari Terbit sungguh pengalaman berbeda. Di Tokyo tak terdengar azan berkumandang apalagi syiar Ramadan di televisi. Mayoritas penduduk Tokyo, Jepang, tak ada yang sibuk mengejar Lailatul Qadar apalagi hiruk pikuk soal bingkisan lebaran. Bahkan di hari raya pun mereka tetap kerja dan tak libur. Karenanya, warga negara Indonesia (WNI) yang berada di Jepang meminta kepastian Hari Raya Lebaran untuk izin cuti kerja demi berlebaran bersama dengan keluarga muslim Indonesia yang di Jepang.
Puasa di Tokyo benar-benar merasakan keintiman antara sang hamba dengan Sang Khaliq. Sebab mayoritas sesama warga di Tokyo tidak ada yang tahu tentang aktivitas puasa yang dilakukan oleh masyarakat. Hanya sebagian masyarakat muslim yang telah saling kenal sebelumnya yang mungkin mengetahui kalua di antara mereka sedang menjalankan ibadah puasa.
Acara televisi, ekspresi masayarakat dan lingkungan tidak ada tanda-tanda menjalankan ibadah puasa. Restoran Indonesia di Tokyo, baik milik warga negera Indonesia atau milik warga Tokyo yang pekerjanya orang-orang Indonesia tetap buka di siang hari meskipun hanya saat makan siang saja lalu tutup dan buka kembali menjelang Magrib.
Namun suasana Ramadan sangat terasa jika hadir di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Apalagi di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Tokyo. Suasana di kalangan Keluarga Masyarat Islam Indonesia (KMII) terasa dalam suasana seperti di Tanah Air. Di KBRI Jepang setiap Zuhur ada salat berjamaah dilanjutkan dengan pengajian, dan di Sekolah Republik Indonesia Tokyo (SRIT) setiap Magrib ada buka bersama dan ada kegiatan salat Tarawih yang dilanjutkan dengan kajian agama tematik. Kata mereka, suasana keakraban dan silaturahmi antar WNI di Tokyo pun lebih terasa saat bulan Ramadan.
Saya sebagai tamu undangan untuk mengisi acara semarak Ramadan di Tokyo merasakan keheningan dan kekhusyukan saat menjalankan ibadah puasa. Waktu di Tokyo memaksa saya untuk mengubah pola hidup dan memindah dari tidur malam menjadi tidur setelah Subuh. Sebab di Tokyo tahun ini musim panas tapi hujan. Subuh pukul 02:40, Zuhur pukul 11:48, Asar pukul 15:36, Magrib pukul 19:04, dan Isya pukul 20:51.
Sedangkan menjalankan ibadah salat Tarawih biasanya selesai jam sepuluhan dan diteruskan dengan kajian sampai pukul 23:30. Seusai itu pulang sampai di penginapan sekitar jam dua belasan. Karena waktu subuh sudah dekat maka terpaksa kami isi dengan aktivitas sampai makan sahur dan salat Subuh, baru setelah itu tidur.
Sayang, masjid Indonesia masih dibangun belum selesai sehingga saya iktikaf di penginapan. Karenanya aktivitas dan interaksi dengan masyarakat Indonesia Tokyo di Balai Indonesia. Berharap pembangunan Masjid Indonesia selesai sebagaimana warga negara Turki memiliki masjid terbesar di Tokyo. Sebab pemerintah Tokyo belum menyediakan masjid jami’, meskipun fasilitas salat sudah mulai disediakan seperti di bandara dan di beberapa tempat umum.
Suasana puasa yang guyub dan semarak ala ke-Indonesiaan didukung penuh oleh pejabat dan diplomat Kedutaan Besar Indonesia yang dipelopori oleh Keluarga Masyarakat Islam Indonesi (KMII) di Tokyo. Bahkan menurut Informasi, lebaran nanti masyarakat Muslim berkumpul di KBRI yang jumlahnya sekitar 10.000 warga negara Indonesia.
Berpuasa di Negeri Sakura, negeri yang dihuni mayoritas non-muslim menemukan sisi khusyuk di pojok keheningan dan menemukan kelurga besar di negera orang asing. Mudah-mudahan Allah menerima khidmah amal baik dan memberi berkah hambanya hamba-Nya. Amin.