PENULIS: Dedy Ibmar, Mahasiswa KKN Kebangsaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
TRIBUNNERS - Bola panas reshuffle kabinet kerja jilid 3 sejauh ini masih menjadi bahan pembicaraan media-media. Reshuffle ini terbilang kontroversial di mata masyarakat.
Sebab terdapat beberapa nama mentri yang sejauh ini dinilai masih mumpuni menjabat sebagai menteri, terpaksa harus diganti menjadi nama lain yang sebelumnya bahkan jarang didengar publik.
Salah satunya ialah pertanyaan-pertanyaan mengenai alasan digantinya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Anies Baswedan.
Banyak masyarakat melihat bahwa Anies Baswedan adalah sosok yang masih pantas memegang jabatan tersebut.
Pendiri Gerakan Indonesia mengajar ini dinilai memiliki pengalaman baik dalam hal pendidikan.
Tak hanya itu, Anies juga merupakan sosok yang banyak diharapkan masyarakat sebagai pemimpin bangsa di masa depan.
Maka wajar-wajar saja apabila terdapat dugaan-dugaan di masyarakat bahwa direshufflenya Anies, hanyalah siasat politik Jokowi semata untuk menumbangkan Anies sebelum Pilpres.
Reshuffle kabinet kerja jilid 3 seolah seperti permainan sepak bola panas yang penggemarnya saling tindih, tuduh dan benci.
Namun, perbincangan tersebut sangat berbanding terbalik dengan perbincangan-perbincangan di Desa Tulang, Kabupaten Karimun, Provinsi Kepulauan Riau, tempat kuliah kerja nyata kebangsaan (KKNK) saya.
Bagi mereka, tidak penting ada isu atau siasat apa dibelakang reshuffle mendikbud ini. Hal yang pasti adalah bahwa mendikbud baru berarti harapan baru bagi masyarakat untuk memajukan pendidikan.
Sejauh ini, desa dengan 1400 kepala keluarga ini, masih jauh dibilang layak.
Di desa ini hanya terdapat dua sekolah yaitu Sekolah Dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP), itupun keduanya berdiri dalam satu atap dan kepala sekolah yang sama.
Tak hanya itu, tenaga pengajar juga masih menjadi permasalahan tersendiri yang masih belum terselesaikan.
Dari 25 guru, yakni SD 13 guru dan SMP 11 guru, dan keduanya pun hanya memiliki satu kepala sekolah yang sama.
Bahkan dari mereka hanya 5 guru yang telah menjadi Pegawai Negri Sipil (PNS). Akibatnya sistem pengajaran tidak dapat dimaksimalkan secara merata.
Hal yang lebih meluluhkan hati, bahasa utama para pelajar baik SD dan SMP masih menggunakan bahasa daerah desa, yakni bahasa Melayu Johor.
Sehingga permasalahan terjemah bahasa saat ujian nasional yang seharusnya tidak terjadi lagi, di dua sekolah yang memiliki 143 pelajar ini masih selalu terjadi setiap tahunnya.
Maka dari itu, setelah dilantiknya, Muhadjir Efendy sebagai Mendikbud baru, diharapkan agar dapat lebih memprioritaskan pendidikan di daerah perbatasan ini.
Ketimpangan pendidikan antara desa dan kota harus segera diminimalisir.
Khusus sekolah di Desa Tulang ini, sarana prasarana hingga pemberdayaan dan kemakmuran guru harus di optimalkan segera mungkin.
Sehingga para pelajar dapat mendapatkan ilmu dan pengetahuan yang lebih baik sebagaimana yang dialami pelajar di perkotaan.