News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Tribunners

Pemerintahan Jokowi, Rezim Jagal dan Eksekusi Mati Terpidana Kasus Narkoba

Editor: Malvyandie Haryadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Polisi membuat barikade untuk mengamankan lajur yang akan dilewati ambulan yang membawa jenazah terpidana mati ke luar dari Dermaga Wijaya Pura, Nusakambangan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, Jumat (29/07/2016) dini hari. Empat orang terpidana mati dari total 14 orang telah menjalani eksekusi hari ini, termasuk diantaranya Freddy Budiman. TRIBUNNEWS/A PRIANGGORO

PENGIRIM: Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI)

TRIBUNNERS - Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) menyesalkan perilaku pemerintahan Presiden Jokowi yang memelihara “rezim jagal” tanpa mengevaluasi hasil yang dicapai.

Pemeliharaan “rezim jagal” dimanifetasikan lewat pelaksanaan hukuman mati gelombang ketiga atas empat terpidana mati kasus narkoba, yaitu Freddy Budiman, Seck Osmane, Michael Titus Igweh, dan Humphrey Ejike pada 29 Juli 2016 di Nusakambangan.

Freddy dan Titus memang sudah meregang nyawa sehabis diberondong peluru dari senapan para algojo dari personel Brigade Mobil (Brimob).

Namun dari cerita mereka dan tambahan temuan beberapa pihak menyembul bau busuk yang menyengat: dugaan skandal di tubuh aparatur rezim antinarkoba dan “rezim jagal”.

Sedangkan Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Boy Rafli Amar mengaku sulit mengungkap, karena tidak ada yang dapat dikonfirmasi seiring direnggutnya hidup Freddy – seorang gembong narkoba yang bisa disebut-sebut mengendalikan bisnis narkoba dari dalam penjara.

Bahkan, berasumsi cerita Freddy ini hanyalah trik untuk lolos dari hukuman mati.

Pertama, dugaan skandal di tubuh rezim antinarkoba. Tulisan Haris Azhar, Koordinator Konstras, berdasarkan keterangan Freddy pada 2014, menghidangkan bau tak sedap berupa dugaan gelontoran “uang haram” ratusan miliar rupiah ke sejumlah pejabat BNN, Mabes Polri, dan Bea Cukai.

Masih ditambah dengan cerita penyelundupan narkoba dari Medan ke Jakarta bersama seorang berpangkat Mayjen TNI.

Bahkan, proses dan hasil pengadilannya pun terkesan ditutup-tutupi. Selain itu, masih ada nyanyian kelam Titus – dituduh sebagai pengecer narkoba – perihal beberapa polisi antinarkoba yang memeras dan mengintimidasinya di tahanan, dengan menyebutkan nama-nama.

Apa benar begini sisi gelap rezim antinarkoba yang memainkan peran sebagai penyokong jaringan bisnis narkoba serta memeras tersangka?

Kedua, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menemukan dugaan kecerobohan “rezim jagal” pimpinan Jaksa Agung HM Prasetyo.

Tiga orang dari empat terpidana mati yang dieksekusi hanya diberi waktu 60 jam pemberitahuan sebelum dieksekusi, bukan 3 x 24 jam. Mereka juga tidak memperoleh salinan Kepres tentang penolakan grasi.

Yayasan LBH Indonesia (YLBHI) menemukan dugaan penyelewengan anggaran.

Setiap eksekusi mati seorang terpidana, Polri dapat jatah Rp 247 juta, Kejaksaan Rp 200 juta.

Namun, dana dari APBN yang sudah dihabiskan Rp 7 miliar hanya untuk empat orang yang diterjang peluru, sedangkan 10 orang dari 14 terpidana mati yang dianggarkan, mengalami penundaan eksekusi. Apakah semua ini skandal “rezim jagal”?

Belakangan Merry Utami yang pernah menjadi pekerja migran (TKW) di Taiwan, kasus yang mirip dengan kasus Mary Jane Veloso asal Filipina, sudah menjalani hukuman hampir 15 tahun penjara sejak 31 Oktober 2001, serta masuk daftar 14 terpidana yang akan dieksekusi mati, namun ditunda.

Bagaimana menjelaskan terpidana perempuan seperti dia bisa dijatuhi hukuman mati? Pengadilan macam apa yang mengadilinya?

Apakah dugaan skandal itu turut sebagai faktor penyebab meningkatnya jumlah kasus narkoba sebesar 13,6 persen per tahun, serta melejitnya jumlah pengguna narkoba dari 4,2 juta naik jadi 5,9 juta pengguna? Apakah bisnis narkoba yang beromset Rp 66,3 triliun itu bikin orang-orang dalam rezim antinarkoba tergiur?

Presiden Jokowi, Jaksa Agung HM Prasetyo, Kapolri Jenderal Tito Karnavian, dan Kepala BNN Komjen Budi Waseso sudah seharusnya bersikap terbuka dan sportif.

Sikap yang dimaksud bukan berpura-pura terbuka dengan “bibir manis” demi pencitraan yang cuma jadi kedok untuk menutupi bau busuk.

PBHI mendesak Presiden Jokowi untuk membentuk tim khusus yang bertugas menyelidiki dugaan skandal di tubuh rezim antinarkoba dan rezim hukuman mati supaya mereka yang terlibat dimintai pertanggungjawaban – bukan membebaskan mereka dari hukuman demi melanggengkan impunitas.

Pemerintah punya segalanya: wewenang atau kekuasaan, jumlah personel, anggaran (uang), peralatan dan fasilitas, serta jangkauan akses dan jaringan untuk memantau dan menjalin kerjasama dengan berbagai pihak untuk berhasil membongkar dan membuktikan ada atau tidaknya dugaan bau busuk itu.

Seharusnya, setiap orang sama di muka hukum sebagai prinsip yang wajib dipegang teguh oleh penegak hukum dan kehakiman.

Semoga para pejabat itu tidak lupa dan mau bekerja untuk membersihkan orang-orang di dalam aparaturnya yang diduga sama kriminalnya.

PBHI juga meminta pemerintah untuk mengevaluasi kegagalan dalam menurunkan jumlah kasus dan pengguna narkoba supaya menemukan kesalahan, kelemahan, dan hambatannya sebelum menyusun rencana yang lebih matang, dengan target dan indikator yang lebih jelas dalam menggelar proyek “darurat narkoba” menuju keadaan normal.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini