News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Inilah Wajah Budaya Politik di Ibu Pertiwi

Penulis: Shadrul Fuadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi politik dinasti

TRIBUNNERS - Dalam arti longgar, budaya politik bertalian dengan serangkaian sikap dan praktik yang dipegang oleh sejumlah orang yang membentuk perilaku politiknya.

Termasuk di dalamnya pertimbangan moral, mitos politik, kepercayaan, dan gagasan tentang apa yang dapat membuat sebuah masyarakat itu menjadi baik.

Dengan kata lain, kebaikan buat semua adalah esensi dari budaya politik yang sehat.

Pertanyaannya untuk Indonesia sekarang, apakah budaya politik yang sedang berlangsung pada tahun ini menyiratkan harapan untuk kebaikan bangsa ini secara keseluruhan jika ditempatkan dalam parameter Pancasila dan nilai-nilai luhurnya?

Jika jawabannya positif, berarti bangsa dan negara ini sudah berjalan di atas rel yang benar. Namun, jika jawaban itu negatif, maka apa yang salah dengan budaya politik kita?

Analisis di bawah memberikan kebebasan bagi pembaca untuk menentukan pertimbangan masing-masing.

Sebenarnya budaya politik itu lebih dikendalikan oleh kaum elite. Rakyat biasa pada umumnya tinggal mengikuti saja, sadar atau karena bujukan uang.

Di Indonesia kontemporer, apa yang dikenal dengan politik uang sudah bukan berita lagi.

Hampir semua lini kegiatan partai plus elitenya, dan perorangan untuk berebut posisi sebagai anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah), empat orang pada tiap-tiap provinsi, permainan uang itu sudah mewabah.

Jumlahnya bergantung pada isi kandung para pemain. Bohong besar jika para pemain itu mengatakan bebas dari politik uang.

Seorang politikus berbakat dari sebuah partai ketika saya tanyakan mengapa dia gagal ke Senayan, jawabannya polos, “Kalah uang.”

Dengan demikian tuan dan puan jangan terlalu berharap kepada mereka yang berhasil duduk menjadi anggota DPR (pusat atau daerah) benar-benar akan menyuarakan aspirasi rakyat.

Sebagian mereka itu hanyalah mewakili isi kantongnya, baik melalui utang atau harta pribadi bagi mereka yang kaya.

Adapun mengenai pertimbangan moral pada umumnya sudah dilumpuhkan oleh pragmatisme politik yang konyol.

Dari pantauan saya, hanyalah sedikit sekali di antara para “wakil” itu yang benar-benar bermental patriot-petarung untuk membela kepentingan bangsa dan negara secara keseluruhan.

Memang ada juga bentuk pertarungan lain di Senayan, tetapi jangan salah nilai, mereka bertarung bukan untuk kepentingan rakyat.

Pertarungan mereka hanyalah didorong oleh politik kekuasaan tanpa pertimbangan akal sehat dan sikap adil.

Mereka yang tersudut dalam pertarungan tampaknya kehilangan keseimbangan, lalu membentuk kekuatan tandingan, sesuatu yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah Indonesia merdeka.

Siapa yang dirugikan oleh akrobatik politik yang menyebalkan ini? Bukan mereka karena mereka tetap digaji saban bulan yang diambilkan dari APBN.

Yang pasti celaka adalah rakyat karena kelakuan politisi Senayan itu bisa menghambat program-program pemerintah yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas kehidupan rakyat yang sudah sekian lama kurang mendapat perhatian.

Di sisi lain, Kabinet Joko Widodo-Jusuf Kalla yang dibentuk di bawah slogan profesionalisme, dalam kenyataannya fenomena politik dagang sapi tidak dapat dihindarkan.

Politik inilah yang menyebabkan ada kekuatan moral masyarakat sipil yang tidak punya saluran partai dianggap sebagai aksesoris belaka.

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini