TRIBUNNERS - Badan Intelijen Negara (BIN) sebagai mata dan telinga Presiden mempunyai tugas dan fungsi yang sangat penting dan mendasar.
Berbagai kebijakan taktis dan strategis Presiden mutlak membutuhkan informasi yang tepat, cepat dan akurat.
Oleh karenanya kesalahan maupun ketepatan kebijakan presiden sangat dipengaruhi oleh berbagai infomasi yang diterimanya. Di sinilah terletak tugas penting kepala BIN.
Lingkungan strategis yang berubah dengan sendirinya berubah pula tantangan dan ancaman yang ada.
Kini Indonesia dihadapkan pada era digital atau cyberspace dengan berbagai ancaman baru yang beragam.
Berbagai ideologi radikal dan terorisme pun kini kian gencar menggunakan teknologi canggih karena mendapatkan berbagai alat dan ruang baru sebagai konsekuensi munculnya era digital tersebut.
Bahkan ternyata mereka pun mampu dengan cepat menyesuaikan pola gerakannya mengikuti trend yang sedang berkembang.
Parahnya media mainstream dan juga para pengguna medsos seringkali tidak sadar menjadi “agen” bagi para pencipta teror. Memperparah terjadinya teror di ruang publik sehingga agenda mereka berhasil!
Sementara papan catur dunia kini sedang terkonsentrasi di Asia Pasifik.
Kompetisi antara Tiongkok dan AS dengan negara-negara sekutunya di wilayah ini praktis menempatkan Indonesia di tengah kancah pertarungan global.
Di tengah terpuruknya harga minyak dunia yang berlarut, ancaman defisit APBN, dan nilai tukar rupiah yang labil berbagai rencana pembangunan pun kian terlihat buram.
Kondisi seperti ini jelas sangat tidak mentolerir adanya riak kegaduhan maupun chaos di dalam negeri.
Padahal efek pemotongan anggaran K/L serta dana transfer daerah sudah menunjukkan potensi kegaduhan tersendiri.
Di sisi lain, eskalasi konflik Laut Cina Selatan yang ada di depan mata terus bergolak Diikuti oleh berbagai letupan yang mengancam wilayah regional, efek percaturan global yang terkonsentrasi di Asia Pasifik.
Seperti kasus-kasus pembajakan, perubahan pola gerak radikalisme dan terorisme, narkoba dan human trafficking, serta beberapa kasus perbatasan.
Muaranya jelas, ancaman terhadap kepentingan nasional. Sementara proyek perebutan berlimpahnya kekayaan SDA Indonesia oleh negara-negara maju dunia masih terus berjalan.
Indonesia sendiri sangat potensial hanya dijadikan pasar terbesar di kawasan ASEAN.
Mengingat luasnya cakupan dan semakin seriusnya pergeseran lingkungan strategis tersebut maka tugas dan fungsi Badan Intelejen Negara semakin berat.
Sementara operasionalisasi dari visi Nawacita juga membutuhkan kerja-kerja ekstra dan luar biasa.
Maka Presiden Jokowi mutlak membutuhkan pembantu seorang Kepala BIN yang jelas-jelas berpengalaman di bidangnya serta hanya mempunyai single client.
Tidak bisa ditawar-tawar! Dengan dasar semangat revolusi mental Presiden selayaknya bisa mempertimbangkan secara matang sosok pembantu strategisnya itu demi kepentingan bangsa dan negara.
Jabatan Kepala BIN merupakan jabatan yang sangat strategis, bukan sekedar bagi-bagi jabatan untuk yang tidak berpengalaman.
Apalagi yang jelas-jelas terafiliasi dengan partai politik tertentu, atau terbukti selama ini kurang efektif dan bisa jadi menyimpang dari tupoksinya.
Penulis: Iwan Adi Kusuma/Koordinator Forum Komunikasi
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia