TRIBUNNERS - Lembaga Sensor Film Indonesia dan segenap pemangku kepentingan diminta dapat mewujudkan film tak hanya sebagai hiburan, tapi juga berisi pesan pendidikan.
Demikian disampaikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy di puncak peringatan 100 tahun Sensor Film Indonesia di Gedung Film, Jakarta, Jumat (18/11/2016).
“Atas nama pemerintah saya sampaikan ucapan selamat dan terima kasih kepada para pemangku kepentingan penyelenggara sensor film Indonesia yang telah memberikan andil dalam perkembangan film Indonesia. Mari kita wujudkan film sebagai sarana menyampaikan pesan pendidikan," ujar Muhadjir.
Puncak peringatan tahun ini mengangkat tema “Sensor Mandiri Wujud Kepribadian Bangsa”. Tema ini menurut Mendikbud sangat relevan dengan nuansa pemberdayaan semua pemangku kepentingan perfilman.
Mendikbud menilai film berkaitan erat dengan imajinasi, dan ini harus dapat diekspresikan dalam media yang dapat ditampilkan secara apik.
“Melalui imajinasi ini perlu ditekankan nilai-nilai luhur. Dengan nilai ini imajinasi dapat lebih terarah,” Mendikbud menambahkan.
Pada perkembangannya banyak tokoh-tokoh bangsa yang pernah menjadi anggota Lembaga Sensor Film (LSF) Indonesia, seperti pada 1946 LSF disebut dengan Komisi Pemeriksa Film.
Tokoh tersebut diantaranya adalah Ali Sastroamidjojo, Ki Hadjar Dewantara, Mr. Soebagio, RM. Soetarto, Anjar Asamara, Djajeng Asmara, dan Rooseno.
“Sekarang LSF berada di sini meneruskan dan mengisi apa yang telah diperjuangkan para tokoh-tokoh-tokoh bangsa itu,” tutur Mendikbud.
Mendikbud menambahkan, tugas LSF tidak hanya sekedar mengisi kemerdekaan, menjalankan amanat peraturan perundang-undangan yang berlaku, tetapi lebih dari pada itu yakni mengikuti perkembangan teknologi, pengaruh globalisasi dan liberalisasi.
“LSF diharapkan dapat bekerja lebih profesional, transparan, akuntabel, memiliki integritas, dan tidak diskriminatif. Dengan itu, saya yakin LSF dapat benar-benar independen,” harap Mendikbud.
Dalam perjalanan 100 tahun Sensor Film di Indonesia menyiratkan nilai-nilai strategis film dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai karya seni budaya, film memiliki peran penting dalam meningkatkan ketahanan budaya bangsa, dan kesejahteraan masyarakat.
Selain itu juga, Film sebagai sarana mencerdaskan kehidupan bangsa, pengembangan potensi diri, pembinaan akhlak mulia, serta wahana promosi Indonesia di dunia Internasional.
Perjalanan sensor Film Indonesia dimulai pada tahun 1916 melalui penetapan Ordonansi Film, Staatblad Van Nederland Indie, Nomor 276. Pada tanggal 18 Maret 1916 oleh Pemerintah Hindia Belanda mengawali penerapan sensor film Indonesia. Pergantian dari masa Pemerintahan Hindia Belanda ke Pemerintahan Pendudukan Jepang tahun 1942-1945 diikuti dengan perubahan arah kebijakan sensor.
Sejak masa pemerintahan Pendudukan Jepang, berlanjut terjadi perubahan masa peralihan 1945-1950, masa Pengawasan Film pada tahun 1950-1966, dan masa Sensor Film pada tahun 1966-1992. Sedangkan masa Badan Sensor Fim pada tahun 1966-1992, dan masa Lembaga Sensor Film mulai tahun 1992 sampai dengan saat ini.
LSF dapat sebagai pembuat regulasi dan memberikan kesempatan kepada masyarakat dapat menilai filmnya sendiri. Sehingga dapat mewujudkan masyarakat sehat dan memajukan film Indonesia.
“Mari kita dorong pertumbuhan film Indonesia. Wujudkan Film Indonesia menjadi tuan rumah di negara sendiri. Mari kita gairahkan nonton bersama film-film Indonesia, dan mari kita gemari film Indonesia,” ajak Mendikbud.
Ketua LSF Ahmad Yani Basuki mengatakan, keberadaan LSF sebagai pengemban peraturan perundang-undangan, dan sebagai wujud komitmen kehadiran negara dalam melindungi masyarakat dari pengaruh negatif film. Termasuk menyensor film dan menetapkan klasifikasi batas umur bagi penonton film.
Ahmad menjelaskan, tugas LSF yang sedang dijalankan saat ini adalah mengintensifkan kegiatan sosial dan memberdayakan sensor mandiri, mengintensifkan dialog dengan para produser, penulis skenario dan masyarakat perfilman dalam rangka meningkatkan produktivitas film yang berbasis budaya bangsa dengan mengangkat tema bernuansa Indonesia.
Selanjutnya, LSF juga membangun perwakilan di daerah untuk mempercepat proses sensor, guna memastikan film-film yang berbasis budaya daerah dan bermuatan kearifan lokal dapat disensor oleh LSF daerah, sehingga akan benar-benar terjaga nilai budaya dan kearifan lokal.
“Pada kesempatan ini kami mengajak semua pihak untuk bisa berperan serta dalam program sosialisasi budaya sensor mandiri,” tutup Ahmad.
Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan