Oleh: Alex Palit
Seperti banyak disebut dalam kajian politik bahwa kuda itu acapkali dimaknai sebagai simbol kendaraan atau tumpangan.
Bahkan di ajang politik pemilu, pemaknaan kuda ini sering ditafsirkan sebagai mobilitas penggalangan massa, siapa joki penunggang kudanya, dan siapa yang jadi kuda tunggangannya.
Termasuk pula politisasi penggunaan permainan kuda-kudaan ini disusupi siasat perang “Kuda Troya” yaitu berupa penyusupan kekuatan demi sebuah kepentingan politik pragmatis untuk memerangi dan mengalahkan pihak lawan.
Dalam arena politik, permainan kuda-kuda ini tidaklah berdiri sendiri, pasti ada pemain yang berrmain yang berdiri di balik rentetan peristiwa itu yang saling terkait dan menguntai sebagai aktor intelektualnya.
Dan politisasi permainan kuda-kudaan inipun bisa kita amati dan cermati dijelang Pilkada DKI Jakarta 2017.
Di sini kita akan dengan mudah bisa menebak kepada apa dan siapa yang menjadi kuda tunggangannya. Karena kuda tunggangan itu kasat mata.
Sementara penunggang kudanya sebagai aktor intelektual cukup mengendalikan dari jarak jauh dengan remote controlnya.
Dengan remote controlnya, sang aktor intelektual ini mengendalikan kuda tunggangannya dimainkan menjadi kuda lumping yang kesurupan sesuai aktraksi permainan yang diinginkan.
Dan bukan tidak mungkin di antara kuda tunggangan dan penunggang kuda masuk penyusupan siasat perang “Kuda Troya” bermain untuk kepentingan politik pragmatis yang diharapkan, dimaui, dan jadi targetnya sampai “Lebaran Kuda”.
Pastinya dari amatan ini kita diajak membaca dan bersikap kritis, termasuk mengatisipasi dan mewaspadai arah permainan politik antara kuda tunggangan, penunggang kuda, dan siasat perang “Kuda Troya”, mau dibawa ke mana?
Karena di sini jangan sampai kita terjerumus terjebak dalam permainan politik yang hasilnya malah merusak tatanan bangunan demokrasi demi ambisi politik penunggang kuda lewat politisasi pemaksaan kehendak atas nama kuda tunggangan.
* Alex Palit, citizen jurnalis “Jaringan Pewarta Independen”, Pemimpin Redaksi Bambuunik.com