TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah mendesak Forest Stewardship Council (FSC) segera melakukan evaluasi terhadap "1994 rule" agar sesuai dengan kondisi Indonesia.
"Karena aturan (1994 rule) ini menjadi hambatan terbesar bagi industri di Indonesia untuk bisa disertifikasi oleh FSC," kata Direktur Jenderal Pengelolaan Produk Hutan Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ida Bagus Putera, dalam pernyataan tertulis, Selasa (8/2/2017).
Menurut Ida Bagus, peraturan FSC yang disebut "1994 rule" itu memiliki prinsip tidak akan mensertifikasi lahan hutan tanaman industri (HTI) yang dikonversi setelah tahun 1994.
Padahal kebanyakan HTI di negeri ini baru dibangun setelah 1994. Oleh karena itulah, kata Ida Bagus pemerintah berusaha membantu dengan mengusulkan ke FSC agar syarat deforestasi dalam 1994 rule itu diubah.
"Ini juga akan menunjang penetrasi FSC di Indonesia," kata Ida Bagus.
Sebagai informasi, FSC adalah organisasi nirlaba internasional yang memiliki wewenang memberikan sertifikasi produk kehutanan.
Tanggapan FSC
Bagaimana tanggapan FSC? Di sisi lain, FSC menyadari usulan pemerintah tersebut memang perlu diperhatikan, mengingat hal ini menjadi persoalan besar bagi industri hasil hutan di Indonesia.
Hartono Prabowo, perwakilan FSC untuk Indonesia, mengatakan lembaga nirlaba internasional yang memiliki wewenang memberikan sertifikasi produk hasil hutan ini memang sedang melakukan proses evaluasi terhadap aturan itu.
"Kalau FSC hanya mengandalkan hutan alam saja, jelas sangat sulit bagi dunia bisnis untuk memenuhi permintaan itu," kata Hartono.
Evaluasi terhadap "1994 rule" juga menjadi upaya FSC untuk bersikap lebih adil. Menentukan standar dengan memerhatikan kondisi lokal, salah satunya di Indonesia, adalah cara bersikap adil.
"Terlebih, saat ini FSC masih menggunakan standar global terhadap semua negara," kata Hartono.
Peluang sertifikasi
Direktur Jenderal Forest Stewardship Council (FSC) Kim Carstensen sebelumnya menegaskan bahwa perusahaan-perusahaan berbasis hasil hutan asal Indonesia yang telah mengantongi SVLK akan mendapat prioritas sertifikasi dari lembaganya.
"Sebab, perusahaan tersebut tidak perlu memulai dari nol lagi dan dianggap telah mengerti standar-standar dalam manajemen hutan yang baik," kata Carstensen.
Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), menurut Carstensen, merupakan basis dasar bagi semua industri hasil hutan di Indonesia dalam memastikan legalitas bahan yang mereka ambil dari hutan.