Oleh Novli B. Thyssen
Alumnus Fakultas Hukum Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
TRIBUNNEWS.COM - Rabu, 19 April 2017, merupakan hari di mana masyarakat DKI Jakarta secara langsung menentukan pemimpin yang akan menakodai untuk kurun waktu 5 tahun kedepan melalui proses Demokrasi Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur (Pilgub).
Ya, setelah melalui proses tahapan pemilu yang begitu panjang, nasib kesejahteraan mereka akan mereka tentukan sendiri dalam bilik suara.
Mungkin juga tidak hanya kesejahteraan masyarakat DKI saja yang ditentukan melalui Pilgub tersebut, tetapi juga berbagai pihak yang mengantungkan nasib dan peruntungannya melalui Pilgub ini, karena begitu banyak investasi modal yang sudah mereka gelontorkan selama perhelatan berlangsung.
Baca: Anies Yakin Menang, Bagaimana dengan Ahok? Ini Jawabannya
Dari 101 daerah yang terdiri dari 7 Provinsi, 18 Kota, 76 Kabupaten yang menyelenggarakan Pilkada serentak tahun 2017, dengan catatan sebanyak 49 perkara gugatan sengketa Pilkada yang berujung di meja Peradilan Mahkamah Konstitusi, dapat dikatakan Pilkada DKI inilah yang paling menjadi sorotan publik.
Bukan hanya karna wilayahnya yang strategis sebagai Ibu Kota Negara yang menjadi daya tarik tertentu, namun lebih dari itu, Pilkada DKI menjadi barometer politik pertarungan pimpinan elite partai sesunguhnya.
Segala intrik, tipu daya, dan intimidasi menjadi sebuah strategi tersendiri guna menggiring suara pemilih. Pembunuhan karakter dengan isu Agama, Ras, Etnis, dari peristiwa mobilisasi masa aksi 411, 212, 412, 313, sampai dengan pengusiran salah satu paslon saat shalat jumat dan peledakan mobil di Cawang mewarnai Pilkada DKI Jakarta.
Pilkada serasa bukan lagi sebagai sarana kedaulatan rakyat, di mana rakyat dengan kehendak bebasnya memilih pemimpin. Pilkada serasa bukan lagi pesta rakyat, tidak ada sukacita dan kegembiraan dalam menyambut pesta ini, yang ada hanyalah kecemasan, kegelisahan, dan ketakutan serta kemarahan.
Begitu mahalnya harga sebuah jabatan politik, dan juga mahalnya harga untuk membeli kepercayaan masyarakat pemilih.
Hal tersebut dapat kita cermati bagaimana salah satu paslon harus rela merogoh kocek pribadi sampai Rp16 Miliar, sebuah angka yang besar, namun juga mengambarkan betapa merosotnya degradasi mental si paslon yang justru mereduksi arti demokrasi itu sendiri.
Demokrasi yang coba dibangun bukanlah demokrasi yang pondasinya dibangun atas kepercayaan rakyat, namun demokrasi yang berpondasikan membeli kepercayaan rakyat. Begitu pula gerakan memobilisasi masyarakat dan intimidasi, jelas sebuah proses menuju pemerintahan Oligarki.
Pemimpin yang dihasilkan dari proses seperti ini akan selalu tersandera oleh berbagai kepentingan kelompok dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan. Ini yang sangat dikhawatirkan.
Sebagai lembaga penyelenggara pemilu, KPU dan Bawaslu mengemban misi khusus mensukseskan perhelatan ini.
Besar harapan masyarakat kepada dua lembaga ini untuk dengan tegas menerapkan fair play kepada kontestan yang bertarung. Namun bukan fair play yang ditunjukan, melainkan kedua penyelenggara tersebut justru ikut hanyut dalam keberpihakan pada salah satu paslon.
Sejatinya lembaga ini sebagai wasit yang adil dalam pertandingan yang berlangsung, namun tiba tiba berperan ganda sebagai pemain. Permasalahan pemutahiran data pemilih yang berkonsekuensi langsung dengan hilangnya hak pilih pemilih pada hari pemungutan suara menjadi bukti berperan gandanya KPU dan Bawaslu.
Hal tersebut tentu meruntuhkan kepercayaan masyarakat yang menaruh harapan besar kepada lembaga ini. Pada situasi demikian masyarakat pemilihlah yang menjadi korban.
Pilkada yang seyogyanya merupakan sarana legal dan damai menjadi sebuah event yang mencekam.
Pemilih seakan tersandera dan dihadapkan pada setidaknya dua situasi yang dilematis, yang pertama, mereka terintimidasi di dalam menyalurkan hak pilihnya, dan yang kedua adalah, tidak adanya jaminan bahwa pilihan mereka benar benar "aman" mengingat kinerja penyelenggara pemilu dipertanyakan netralitasnya. Salam.