Oleh: Karyudi Sutajah Putra
TRIBUNNEWS.COM - Ada pepatah Tiongkok yang menyatakan, “jenis mencari jenis”. Artinya, seseorang dalam mencari teman lebih memprioritaskan orang yang sejenis atau sekarakter dengan dirinya. Dalam teori psikologi pun demikian, di mana seseorang cenderung mengidentifikasi diri dengan tokoh idolanya.
Diberitakan, delapan tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggunakan hak pilih mereka dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta tahun 2017 yang putaran keduanya digelar pada Rabu (19/4/2017).
Dari delapan pemillih tersebut, tujuh di antaranya kompak mengenakan rompi berwarna oranye, rompi khas tahanan KPK. Tak hanya itu, ketujuh tahanan kasus korupsi itu juga kompak mengacungkan tiga jari masing-masing seusai menggunakan hak pilihnya.
Dengan kata lain, mereka memilih pasangan Anis Baswedan-Sandiaga Uno, pasangan calon gubernur-wakil gubernur nomor pemilihan 3.
"Pasti menang nomor tiga," kata mantan anggota Komisi V DPR RI Andi Taufan Tiro sambil mengacungkan tiga jari kepada awak media, seperti dilansir media.
Baca: Canda Tawa Tahanan KPK Saat Gunakan Hak Pilihnya di Pilkada DKI Jakarta
Selain Andi, ketujuh tahanan KPK lainnya yang memilih Anis-Sandi adalah mantan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Patrialis Akbar, tersangka suap judicial review (uji materi) Undang-Undang Peternakan di MK; Fahmi Darmawansyah, terdakwa kasus suap pejabat Badan Keamanan Laut (Bakamla); Andi Zulkarnaen Mallarangeng alias Choel Mallarangeng, terdakwa kasus korupsi pembangunan gedung olah raga di Hambalang, Bogor, Jawa Barat; Direktur PT Mahkota Negara Marisi Matondang, tersangka kasus korupsi pengadaan alat kesehatan rumah sakit khusus untuk pendidikan tahun anggaran 2009 di Universitas Udayana, Bali; Ramapanicker Rajamohanan Nair, terdakwa kasus suap pejabat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan; Muhammad Adami Okta, tersangka kasus suap pejabat Bakamla; dan mantan anggota DPRD DKI Jakarta Mohammad Sanusi, terpidana kasus suap pembahasan Peraturan Daerah DKI Jakarta tentang reklamasi Teluk Jakarta.
Mengapa para tahanan KPK itu memilih Anis-Sandi, bukannya Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat, pasangan cagub-cawagub nomor pemilihan 2? Adakah ini terkait pepatah Tiongkok, “jenis mencari jenis”? Ataukah seperti teori psikologi, “seseorang cenderung mengidentifikasi diri dengan tokoh idolanya?
Kalau “jenis mencari jenis” atau pun mereka mengidentifikasi diri dengan tokoh idolanya, bukankah Anis dan Sandi belum terbukti korupsi? Anies memang pernah dilaporkan ke KPK oleh Andar Situmorang atas dugaan penyimpangan penggunaan dana di pameran Frankfurt Book Fair 2015 di Jerman yang menelan biaya Rp146 miliar.
Anies diduga menyalahgunakan kewenangannya saat menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Namun KPK memeriksa Anies pun belum. Pelaporan tersebut bahkan ditengarai lebih bernuansa politis terkait Pilkada DKI Jakarta.
Sandi juga dilaporkan oleh Fransiska Kumalawati ke Polda Metro Jaya atas tuduhan penggelapan dan pemalsuan kuitansi hasil penjualan tanah di Jalan Curug Raya, Tangerang Selatan, Banten, tahun 2012.
Namun, Polda Metro Jaya pun belum menetapkan Sandi sebagai tersangka. Seperti pelaporan terhadap Anis, pelaporan terhadap Sandi pun ditengarai lebih bernuansa politis terkait Pilkada DKI Jakarta.
Usai pilkada, proses hukum terhadap Anies dan Sandi diyakini akan menguap begitu saja, sebagaimana proses hukum terhadap Silviana Murni, cawagub pasangan cagub Agus Harimurti yang ikut berlaga dalam Pilkada DKI putaran pertama, 15 Februari 2017, namun tak lolos ke putaran kedua.
Penulis menduga, pilihan para tahanan KPK terhadap Anies-Sandi lebih disebabkan oleh dua hal. Pertama, “kebencian” terhadap KPK yang telah memenjarakan mereka di satu sisi, namun di sisi lain KPK dinilai bertindak tak adil, karena tidak menjadikan Ahok sebagai tersangka dalam kasus korupsi penjualan sebagian lahan Rumah Sakit (RS) Sumber Waras di Tomang, Jakarta Barat, yang mereka yakini bukti-buktinya cukup kuat.
Karena tidak menyukai KPK yang dianggap “menganakemaskan” Ahok, “kebencian” itu juga menjalar ke Ahok, sehingga mereka tidak memilih cagub petahana tersebut. Maka Anis pun dianggap sebagai teman mereka, sesuai adagium, “musuh dari musuh adalah teman”, mengingat dalam Pilkada DKI Jakarta, Anis adalah “musuh” Ahok.
Kedua, terkait dengan dukungan partai politik para tahanan itu terhadap cagub-cawagub DKI Jakarta. Andi Taufan Tiro dan Patrialis Akbar berlatar belakang Partai Amanat Nasional (PAN), dan dalam putaran kedua Pilkada DKI ini, PAN mendukung Anies-Sandi, setelah jagoan mereka, Agus-Silvi gugur di putaran pertama.
Choel Mallarangeng berlatar belakang Partai Demokrat. Pada putaran kedua ini, Partai Demokrat memilih bersikap netral, membebaskan kadernya untuk memilih siapa pun cagub-cawagub yang disukai, dan adik kandung mantan Menteri Pemuda dan Olah Raga Andi Mallarangeng ini ternyata memilih Anies-Sandi.
Sanusi berlatar belakang Partai Gerindra, dan juga adik kandung Ketua DPD Partai Gerindra DKI Jakarta Mohammad Taufik yang juga Ketua Tim Pemenangan Anis-Sandi. Bersama Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Gerindra adalah parpol utama pengusung Anis-Sandi. Maka wajar bila Sanusi memilih Anies-Sandi.
Hasil quick count (hitung cepat) sejumlah lembaga survei, sampai tulisan ini diturunkan, menunjukkan kemenangan pasangan Anis-Sandi atas Ahok-Djarot.
Semoga ketika nanti benar-benar terpilih menjadi gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta, Anies-Sandi benar-benar tak terlibat korupsi, baik kasus lama maupun kasus baru, sehingga kebenaran pepatah Tiongkok serta teori psikologi di atas terpatahkan. Semoga!
Karyudi Sutajah Putra: Pegiat Media, Tinggal di Jakarta