News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Pilgub DKI Jakarta

Parpol Pendukung Pemerintah Harus Koreksi Diri Pasca-Kekalahan Ahok di Pilkada DKI Jakarta

Editor: Malvyandie Haryadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi

TRIBUNNERS - Usai sudah kontestasi demokrasi lokal di Jakarta, setelah perjalanan panjang yang menguras energi politik rakyat beserta elit politik di negeri ini.

Bahkan suhu politik di DKI Jakarta sempat sangat memanas menular ke seluruh penjuru daerah di Indonesia, serta menjadi sorotan dunia luar.

Namun, perlu dicermati kekalahan Kubu Ahok-Djarot yang diusung oleh partai-partai politik pendukung pemerintah, yakni PDI-P, Golkar, Nasdem, Hanura, dan PPP.

Berikut ini pandangan kami beberapa faktor kekalahan Ahok-Djarot di Putaran Kedua Pilkada DKI Jakarta:

Pertama, bahwa perjalanan panjang kontestasi demokrasi di DKI Jakarta menunjukkan bahwa warga Jakarta khususnya, dan rakyat Indonesia sudah matang dalam berdemokrasi, karena penyelenggaraan Pilkada DKI Jakarta berakhir damai, aman, dan kondusif.

Kekhawatiran akan kerusuhan dan intimidasi terang-terangan tidak terjadi. Kedua Paslon, baik pasangan Ahok-Djarot dan pasangan Anis Sandi serta pendukungnya menunjukkan kedewasaan politiknya.

Kedua, bahwa strategi pendukung Anis-Sandi yang menggerakan masyarakat untuk membentengi diri di beberapa wilayah rawan sebar sembako dan politik uang cukup efektif, walau memang terlihat intimidatif. \

Namun dapat dipahami, oleh karena krisis kepercayaan mereka terhadap penyelenggara, khususnya pengawas yang kurang memiliki daya jangkau yang luas dan pasukan yang tidak banyak.

Juga kecurigaan warga pendukung Anis-Sandi yang mungkin menduga bahwa dikhawatirkan aparat kurang menjaga netralitasnya.

Ketiga, walau sentimen primodialisme dan isu-isu SARA sempat mendominasi, akan tetapi hal tersebut terpatahkan dengan unggulnya pasangan Ahok-Djarot di putaran pertama.

Terlebih warga Jakarta memiliki tingkat rasionalitas yang cukup tinggi. Namun di media sosial “perang” antar pendukung kedua paslon dapat berpengaruh terhadap pilihan pemilih warga DKI Jakarta.

Keempat, mesin partai politik pendukung Ahok-Djarot kurang memiliki militansi dan tidak berjalan di banding lawannya yang berhasil merebut hati pemilih warga DKI Jakarta, serta mudah terlena, sehingga terlalu percaya diri di putaran kedua akan menang walau survei-survei mengeluarkan hasil penelitiannya bahwa elektabilitas kedua paslon bersaing ketat.

Hal ini harus menjadi perhatian dan evaluasi serta koreksi dari parpol pendukung pemerintah, jika nanti kembali mencalonkan Presiden RI Joko Widodo sebagai Calon Presiden Republik Indonesia dalam Pemilihan Presiden pada tahun 2019.

Tidak tertutup kemungkinan hal-hal seperti ini akan terulang di Pilpres 2019.

Kelima, ada beberapa sebagian relawan yang mendukung Presiden Jokowi, baik pada saat pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur tahun 2012 maupun dalam pemilihan presiden tahun 2014, berbalik mendukung lawannya, karena merasa ditinggalkan, hanya beberapa kelompok saja yang diakomodir.

Kemudian tidak tertutup kemungkinan juga dukungan finansial untuk operasional relawan-relawan Ahok-Djarot di bawah tidak mengalir, atau tertahan di tingkat Timses elit, karena sudah yakin menang.

Keenam, program rumah Dp Rp. 0, cukup “menggairahkan”, oleh karena di mata awam, siapa yang memilih Anis-Sandi, berharap tinggi sekali untuk mendapatkan sebuah rumah di DKI Jakarta.

Penulis:
Girindra Sandino
Wakil Sekjen KIPP Indonesia

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini