Hendardi/Ketua SETARA Institute
TRIBUNNERS - Pernyataan Kapolri Jenderal Pol. Tito Karnavian terkait rencana pembubaran organisasi masyarakat Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) merupakan langkah yang tepat dan legal, sepanjang dilakukan melalui proses yudisial yang akuntabel dan dengan argumentasi sebagaimana dikemukakan oleh Kapolri.
Termasuk jika dasarnya adalah mengganggu ketertiban sosial, potensi memicu konflik horizontal sebagaimana direpresentasikan dengan penolakan kuat Banser NU, dan mengancam ideologi Pancasila, karena agenda yang diusung adalah khilafah, suatu sistem politik dan pemerintahan yang bertentangan dengan Pancasila.
Berbagai studi dan praktik di beberapa negara, ideologi khilafah yang disertai pandangan keagamaan eksklusif, takfiri (gemar mengkafirkan pihak yang berbeda) telah menimbulkan pertentangan kuat di tengah masyarakat.
Bahkan di beberapa negara, orgaisasi Hizbut Tahrir telah dilarang seperti di Yordania, Irak, dll.
Secara fisik, HTI tidak melakukan kekerasan tapi gerakan pemikirannya yang secara massif dan sistematis telah merasuk ke sebagian warga negara Indonesia, khususnya melalui kampus-kampus dan majelis-majelis keagamaan.
Gagasan itu telah dianggap mengancam kebhinekaaan, sistem politik demokrasi, dan Pancasila, yang merupakan falsafah bangsa Indonesia.
Gagasan pembubaran HTI merupakan eksperimentasi penerapan prinsip margin of appreciation dalam disiplin hak asasi manusia.
Kebebasan berserikat dalam bentuk organisasi masyarakat seperti HTI dijamin oleh Konstitusi RI.
Akan tetapi, jika bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, maka HTI sahih untuk dibatasi perkembangannya.
Pemikiran HTI tidak bisa diberangus, karena kebebasan berpikir bukan hak yang bisa dibatasi.
Tetapi pemerintah dan penegak hukum bisa melakukan pembatasan penyebarannya.
Jika penyebarannya yang dibatasi, maka orang-orang yang menganut pandangan keagamaan dan pandang politik seperti HTI tidak bisa dipidanakan. Hanya tindakan penyebarannya yang bisa dibatasi.
Secara teknis, pembubaran ormasnya pun sangat dimungkinkan, sebagaimana diatur dalam UU 17/2013 tentang Ormas.
Pada Pasal 59-78 mengatur larangan bagi ormas, ancaman sanksi, pembekuan organisasi, hingga mekanisme pembubaran dan mekanisme untuk menyoal pembubaran itu, jika organisasi yang dibubarkan tidak menerima tindakan hukum negara.
Opsi pembubaran adalah salah satu cara menghalau pengaruh destruktif HTI. Gerakan kebudayaan yang dilakukan oleh ormas-ormas keagamaan mainstream dan moderat, bisa menjadi opsi pelengkap untuk memoderasi pandangan keagamaan pengikut HTI.