Oleh: Petrus Selestinus
Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI)
TRIBUNNEWS.COM - Pelaksaan tugas KPK selaku Penegak Hukum khususnya Pemberantasan Korupsi, maka alat kontrol untuk mengawasi pelaksanaan tugas KPK adalah Praperadilan dan Gugatan Perbuatan Melanggar Hukum, sebagaimaba diatur dalam KUHAP, UU KPK dan UU Tipikor.
Kontrol itu bisa dilakukan oleh Tersangka/Korban yang melapor atau Masyarakat melalui Gugatan Praperadilan, Penggunaan Hak Ingkar dan Pembelaan dalam persidangan.
Oleh karena itu kontrol terhadap kinerja KPK melalui penggunaan Hak Angket DPR jelas merupakan penggunaan kekuasaan DPR secara berlebihan bahkan merupakan langkah mundur dalam pemberantasan korupsi.
DPR RI seharusnya mengapresiasi prestasi spectacular KPK karena berhasila dalam mengungkap dugaan korupsi dalam kasus korupsi e-KTP, berhasil mengungkap besarnya kerugian negara dan berhasil membawa sejumlah orang yang diduga sebagai pelakunya menjadi Terdakwa di Pengadilan Tipikor.
Selain daripada itu harus dicatat bahwa hingga saat ini hanya satu atau dua orang terdakwa korupsi yang diputus bebas atau dengan kata lain hampir tidak ada terdakwa kasus korupsi hasil penyidikan dan penuntutan KPK diputus bebas.
Hampir 99,9% divonis bersalah sesuai dengan hasil penyidikan dan penuntutan dari Penyidik dan Penuntut Umum KPK.
Jika kita mencermati definisi Hak Angket menurut UUMD3 yaitu "Hak DPR RI untuk melakukan penyelidikan terhadap suatu UU dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan", maka pembentukan Hak Angket DPR untuk KPK merupakan sebuah penyalahgunaan lembaga Hak Angket oleh DPR.