News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Korupsi KTP Elektronik

Status Tersangka dan Urgensi Kehadiran Setya Novanto-Hatta Ali dalam Sidang Terbuka Gelar Doktor

Editor: Dewi Agustina
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ketua DPR Setya Novanto

DESAKAN sejumlah kader Partai Golkar agar KPK dan Komisi Yudisial/KY, menyelidiki peristiwa kehadiran Setya Novanto dengan Hatta Ali, sebagai penguji, dalam acara sidang Gelar Doktor Sdr Adies Kadir pada tanggal 22 Juli 2017 di Kampus Untag, sangat urgent demi menjaga netralitas Hakim untuk mengadili perkara Korupsi e-KTP. Karena nama Setya Novanto ikut disebut-sebut terlibat di dalamnya dan sudah berstatus tersangka.

Penyelidikan ini sangat urgent, karena peristiwa hilangnya nama Setya Novanto dalam putusan perkara korupsi e-KTP a/n. Terdakwa Irman dan Sugiharto, tanggal 20 Juli 2017, diduga keras sebagai modus korupsi baru yang berpotensi menjadi sistem korupsi di internal Pengadilan Tipikor yang berpuncak pada Mahkamah Agung RI.

Kehadiran Setya Novanto maupun Hatta Ali dimaksud, sudah masuk kategori pelanggaran Etika dan berpotensi menjadi pelanggaran Hukum.

Hatta Ali dan Setya Novanto seharusnya menolak hadir sebagai Dosen Penguji Akademis dan Nonakademis dalam forum ilmiah untuk menguji mahasiswa S3 di Untag, Surabaya, karena baik Hatta Ali maupun Setya Novanto dalam waktu yang sama, berada dalam posisi konflik kepentingan, dimana Hatta Ali sebagai Ketua Mahkamah Agung, anak buahnya sedang memeriksa perkara korupsi e-KTP di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.

Sedangkan Setya Novanto dan sejumlah anak buahnya di DPR sudah ditetapkan sebagai Tersangka dan beberapa kali menjadi saksi untuk Terdakwa Irman dan Sugiharto dan Tersangka/Tedakwa Andi Narogong.

Selain itu Mahkamah Agung sedang memerlukan dukungan DPR terkait revisi UU Mahkamah Agung tentang usia pensiun Hakim Agung, sementara Setya Novanto dkk memerlukan simpati dan budi baik dari Hakim-Hakim untuk mendapatkan keadilan dalam perkara korupsi e-KTP.

Adanya konflik kepentingan secara berlapis inilah yang mengakibatkan keberadaan Setya Novanto dan Hatta Ali dalam forum ujian S3 menjadi haram hukumnya, karena nama Setya Novanto dinyatakan dalam Surat Dakwaan dan Tuntutan Jaksa sebagai orang yang secara bersama-sama dengan Terdakwa Irman, Sugiharto, Andi Narogong, Nazaruddin dll melakukan Tindak Pidana Korupsi yang merugikan negara sebesar Rp 2,4 triliun, hilang secara misterius dari putusan Hakim.

Secara teknis yuridis, nama Setya Novanto dan peran aktifnya dalam Tindak Pidana Korupsi dimaksud harus tetap disebutkan, sebagaimana pola ini sudah lama diterapkan oleh KPK dan Pengadilan Tipikor dalam banyak putusan perkara Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan secara bersama-sama oleh beberapa orang.

Selama ini KPK menjerat pelaku lain setelah pelaku utama atau pelaku turut serta diajukan dalam berkas perkara terpisah untuk disidangkan dan diputus "terlebih dahulu", kemudian putusannya itu dijadikan sebagai dasar untuk menguatkan bukti-bukti hasil penyidikan yang sudah dirumuskan dalam Surat Dakwaan dan Tuntutan pelaku lainnya yang segera diajukan.

Dengan demikian, maka hilangnya nama Setya Novanto dimaksud, patut diduga berhubungan erat dengan upaya memangkas strategi KPK dalam menindak pelaku lainnya demi meloloskan Setya Novanto dari proses pemidanaan kasus korupsi e-KTP.

Bila modus seperti ini yang terjadi, maka ini merupakan upaya pembusukan yang "paling dasyat" terhadap kinerja KPK, karena dilakukan ketika perkara sudah masuk dalam pemeriksaan persidangan Pengadilan Tipikor.

Karena KPK tidak bisa melakukan supervisi, karena terkendala prinsip "Kebebasan Hakim" dan "Kemandirian Badan Peradilan" yang melarang segala campur tangan dalam bentuk apapun dan dari pihak manapun.

Untuk mengetahui bagaimana proses penghilangan nama Setya Novanto dalam putusan Majelis Hakim dan siapa yang berperan menghubungkan Majelis Hakim dengan kekuatan hirarki di Mahkamah Agung, serta siapa yang bekerja demi Setya Novanto, memang tidaklah mudah, karena peran "invisible hand" yang sulit dideteksi selama ini.

Kita hanya dapat mereka-reka dengan melihat komposisi Majelis Hakim Tipikor yang terdari dari 5 (lima) anggota Majelis Hakim, 3 (tiga) anggota dari Hakim Karier dan 2 (dua) anggota dari Hakim Ad Hoc.

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini