TRIBUNNERS – Sehari menjelang HUT Kemerdekaan Republik Indonesia ke-72, bangsa Indonesia dikejutkan dengan hadiah yang diberikan oleh PT. Dirgantara Indonesia.
Hadiah tersebut berupa terbang perdana Pesawat purwarupa N219 rancangan PTDI bersama LAPAN yang diterbangkan oleh pilot penguji Esther Gayatri dari Bandara Husein Sastranegara.
Tentu kita patut bergembira dan berbesar hati dengan karya anak bangsa yang merupakan salah satu tolok ukur kemajuan industri dirgantara tersebut.
Mengingat dalam satu dekade kepemimpinan Direktur Utama PT. Dirgantara Indonesia saat ini belum mampu membuat kinerja perusahaan plat merah ini menjadi cemerlang kembali.
Paling tidak ada tiga permasalahan yang kini membelit PT Dirgantara Indonesia. Industri pesawat terbang tersebut memiliki tiga masalah, yaitu:
Pertama, keterlambatan penyelesaian dan pengiriman pesawat ke konsumen, sehingga dikenakan denda. Misalnya seperti proyek pesawat N 111 pesanan Filipina yang dikenai denda sebesar Rp. 222,56 miliar; Proyek pesawat C 212-400 pesanan Thailand, dikenai denda sebesar Rp. 175,8 miliar; dan Proyek pesawat Super Puma NAS332 pesanan TNI-AU, dikenai denda Rp. 8,5 miliar.
Kedua, kebih banyak memasarkan produk Non PTDI, sehingga selisih pendapatan dari penjualan produk tersebut tidak mencukupi biaya operasional tahunan PTDI.
Produk non PTDI yang dipasarkan PTDI (sebagai perantara), antara lain C 295; Heli Serbu Bell 412; Heli Serang Fennec, EC 725; EC 135; dan AS 305.
Ketiga, PT DI masih menggunakan mitra penjualan (Agen) untuk menjual produk pesawat/helikopter ke dalam negeri (Kementerian Pertahanan) dengan pendanaan berasal dari APBN.
Dengan menggunakan mitra penjualan (Agen) menunjukkan jika marketing di internal PTDI tidak cukup inovatif dalam meyakinkan Kemenhan untuk menggunakan produk dalam negeri (PTDI).
Sehingga mengurangi keuntungan yang dapat diperoleh oleh PTDI karena harus dibagi dengan mitra penjualan (Agen) tersebut.
Ketiga permasalahan mendasar tersebut sangatlah berpengaruh pada performance PTDI.
Oleh karena itu permasalahan tersebut harus dapat segera diatasi, karena ketidakmampuan PTDI mendukung TNI dengan menyediakan alutsista yang dibutuhkan tentu berimbas pada mewujudkan strategi pertanahan Negara Indonesia.
Berdasarkan kondisi tersebut, Komisaris Utama PTDI harus segera melakukan evaluasi dan melakukan penyegaran ditubuh manajemen PTDI.
“Save PT Dirgantara Indonesia..!”
“Save Republik Indonesia..!”
PENULIS/PENGIRIM:
YUDI HASTIKA
Ketua Tanah Air Institute