TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perundingan antara Pemerintah Indonesia dan PT Freeport Indonesia akhirnya mencapai kesepakatan final.
Kesepakatan final itu antara lain soal divestasi saham Freeport Indonesia sebesar 51%, Freeport sepakat membangun smelter dalam kurun waktu lima tahun, dan stabilitas penerimaan negara.
Menanggapi kesepakatan final tersebut, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Syaikhul Islam Ali menilai tidak ada hal yang baru dalam kesepakatan tersebut.
Syaikhul menjelaskan kesepakatan divestasi saham 51% sudah tertuang dalam Kontrak Karya II tahun 1991.
Dimana pasal 24 KK tahun 1991 menyebutkan kewajiban divestasi Freeport terdiri dari 2 tahap.
Tahap pertama adalah melepas saham ke pihak nasional sebesar 9,36% dalam 10 tahun pertama sejak 1991.
Kemudian divestasi tahap kedua mulai 2001. Freeport harus melepas sahamnya 2% per tahun, hingga kepemilikan nasional menjadi 51%.
“Soal kesepakatan divestasi itu sudah ada dalam Kontrak Karya II Tahun 1991. Tidak hanya dalam IUPK nantinya, sebetulnya dalam KK pun Freeport juga wajib divestasi 51% saham. Nyatanya Freeport tidak melaksanakan. Jadi, tidak ada yang baru dalam kesepakatan Freeport dan pemerintah kali ini, kecuali mungkin soal perpajakan,” ujar Syaikhul di Jakarta, Selasa (29/8/2017).
Syaikhul pun menegaskan agar sebaiknya divestasi dilakukan sebelum dilakukannya perpanjangan kontrak baru sebagai wujud keseriusan Freeport.
“Kalau mau fair sebenarnya divestasi bisa dilakukan sebelum perpanjangan kontrak,” katanya.
Ketua Panja Minerba Komisi VII DPR RI itu juga mengkritisi kesepakatan soal smelter. Menurutnya, rencana Freeport membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian di dalam negeri selalu molor.
“Soal smelter kurang lebih sama. Tercantum juga dalam KK tapi mereka tidak bangun. Jadi pemerintah perlu hati-hati, jangan tertipu lagi. Setelah diperpanjang tahu-tahu tidak mau divestasi dan bangun smelter seperti yang sudah-sudah,” pungkasnya.