Bagi penyidik Kepolisian dan kejaksaan bahkan KPK, sprindik dan penetapan status tersangka seseorang dalam waktu yang bersamaan sudah menjadi sistim yang baku, bahkan dalam surat pemberitahuan dimulainya penyidikan/SPDP yang ditujukan kepada penuntut umum nama tersangka sudah dicantumkan oleh penyidik dan ini sudah berlangsung 36 tahun sesuai dengan usia KUHAP.
Lalu apa yang salah dari KPK dengan pola ini? Apakah hanya demi seorang Setya Novanto, lantas Hakim Cepi Iskandar harus merusak sistim, pola dan strategi penyidik di seluruh Indonesia dengan segala akibat hukumnya?
Bagi KPK tugas menemukan bukti permulaan yang cukup (sekurang-kurangnya dua alat bukti) adalah spenuhnya menjadi tugas penyelidik pada tahap penyelidikan, karena pada tahap penyelidikan itulah KPK berwenang menentukan apakah penyelidikan ditingkatkan atau dihentikan, karena sangat tergantung kepada ditemukan atau tidaknya sekurang-kurangnya dua alat bukti untuk menyangka seseorang sebagai pelaku tindak pidana.
Dengan kata lain pematangan tentang sekurang-kurangnya dua alat bukti sebagai bukti permulaan yang cukup dan siapa calon tersangka, berada pada tahap penyelidikan, maka KPK berwenang menghentikan atau melanjutkan Penyelidikan (pasal 44 UU No 30 Tahun 2002 Tentang KPK).
Berdasarkan ketentuan pasal 16 dan 17 KUHAP jo pasal 44 UU KPK, penyelidik KPK berwenang melakukan penangkapan terhadap Setya Novanto dan menyerahkan kepada KPK untuk diberi status tersangka dan ditahan demi kepentingan penyidikan dan penuntutan.
Di sini nampak jelas bahwa KPK belum menggunakan seluruh wewenangnya karena masih menjaga martabat dan kehormatan lembaga DPR RI karena apapun reputasi Setya Novanto dia adalah Ketua DPR RI dan Ketua Umum DPP Golkar.
Dengan demikian maka pandangan Hakim Cepi Iskandar bahwa KPK tidak menjaga harkat dan martabat Setya Novanto, karena tidak dilakukan diujung penyidikan, adalah tidak benar.
KPK dapat mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Setya Novanto sebelum dikeluarkannya surat perintah penyidikan No.Sprin.dik-56/01/07/2017, tanggal 17 Juli 2017, namun kewenangan itu tidak digunakan dan itu sah-sah saja demi menjabat martabat seseorang.
Apa yang harus dilalukan oleh KPK terhadap Setya Novanto pascaputusan Praperadilan, mengingat secara de fakto status tersangka Setya Novanto sudah dibatalkan dan penyidikannya dihentikan berdasarkan putusan Hakim Cepi Iskandar.
Yang harus dan perlu dilakukan segera oleh Penyelidik KPK adalah menggunakan wewenangnya menangkap Setya Novanto pada saat hendak meninggalkan rumah sakit, untuk selanjutnya dibawa ke KPK guna menghadapi pemeriksaan selama 1 x 24 jam dan bersamaan dengan itu dikeluarkan sprindik dan status tersangka baru untuk ditahan, sebagai pemenuhan terhadap Putusan Hakim Cepi Iskandar.
KUHAP maupun UU Tipikor, tidak memberikan batasan apakah Penetapan Tersangka seseorang itu harus di awal atau di ujung penyidikan, karena hal itu sepenuhnya merupakan wewenang dan pertimbangan subyektif Penyidik sebagai bagian dari strategi penyidikan dan bergantung kepada ditemukannya sekurang-kurangnya dua alat bukti sebagai bukti permulaan yang cukup.
Apalagi antara penyelidikan dan penyidikan tidak dapat dipisahkan, karena di tahap penyelidikan, penyelidik dibebankan oleh UU harus menemukan sekurang-kurang dua alat bukti untuk menyangka siapa kira-kira sebagai pelakunya dengan kewenangan melakukan pemeriksaan saksi, penyitaan alat bukti, penggeledahan, penangkapan dan sebagainya, bahkan bisa menghentikan penyelidikan.
Karakteristik penyidikan KPK, bergantung kepada hasil penyelidikan dari penyelidik, sebagimana diatur dalam Pasal 44 UU No 30 Tahun 2002 Tentang KPK, yang mensyaratkan penyelidik KPK menemukan "bukti permulaan yang cukup" sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti adanya dugaan tindak pidana korupsi (kecuali OTT).
Jika pada tahap penyelidikan, penyelidik tidak menemukan "bukti permulaan yang cukup" KPK menghentikan penyelidikan.