Oleh: Dr. KRMT Roy Suryo, Pemerhati Telematika, Multimedia, AI dan OCB Independen
Srimulat? Ya, Srimulat adalah grup lawak Indonesia yang didirikan oleh Teguh Slamet Rahardjo (TSR) di Solo pada tahun 1950, mengambil nama istrinya pada saat itu.
Grup ini pertama-tama didirikan oleh RA Srimulat dan TSR dengan nama Gema Malam Srimulat.
Pada awalnya Gema Malam Srimulat adalah kelompok seni keliling yang melakukan pertunjukan dari satu kota ke kota lain dari Jawa Tengah sampai Jawa Timur.
Grup ini memulai lawakan pertama mereka pada 30 Agustus 1951 dengan menampilkan tokoh-tokoh dagelan Mataram seperti Wadino (Bandempo), Ranudikromo, Sarpin, Djuki, dan Suparni.
Logika terbalik yang sering digunakan Srimulat kemudian menjadi trade mark pemain-pemainnya, misalnya Asmuni dengan kalimat “Hil yang mustahal” dan “Tunjep poin” (maksudnya hal yang mustahil dan to the point).
Kemudian Mamiek Prakoso terkenal dengan kalimat “Mak bedunduk”, dan “Mak jegagik” (sekonyong-konyong, tiba-tiba).
Namun semua diksi terbalik khas tokoh-tokoh Srimulat ini memang lucu dan bisa membuat penonton tertawa, bukan berniat mau membodohi masyarakat dan membuat geram rakyat sebagamana logika terbalik antara “nebeng” (menumpang) atau “minjem” (meminjam) yang diucapkan Kaesang Pangarep (KP) saat datang di Gedung KPK, Selasa (17/9/2024) kemarin.
Agar tidak membuat defisini atau pemahaman seenaknya sendiri, maka nenurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia): Nebeng/ne·beng/nébéng adalah ikut serta (makan, naik kendaraan, dan sebagainya) dengan tidak usah membayar.
Sedangkan – masih menurut KBBI juga – kalau kata pinjam/pin·jam, meminjam/me·min·jam : adalah memakai barang (uang dan sebagainya) orang lain untuk waktu tertentu (kalau sudah sampai waktunya harus dikembalikan).
Di sini sudah sangat jelas bahwa apa yang dilakukan KP dengan menaiki pesawat private jet kemarin adalah bukan “nebeng” karena bukan “ikut serta” (dengan pemiliknya), melainkan “minjam”.
Sangat jelas, adalah “hil yang mustahal” kalau menurut Asmuni dari Srimulat, seandainya KP bukan anak siapa-siapa (Presiden) atau bukan adiknya siapa (Wali Kota) yang keduanya adalah pejabat negara, maka tidak mungkin dipinjami private jet tersebut.
Lucunya lagi, meski bukan Srimulat, masih saja ada upaya dari oknum-oknum tertentu yang membela dengan tanpa malu atau bahkan sudah sampai tahap memalukan dirinya sendiri dengan berusaha meyakinkan masyarakat bahwa KP itu hanya nebeng/numpang dan dia bukan seorang pejabat negara, sehingga tidak bisa dikenai pasal gratifikasi.
Apakah sebegitu miskinnya para pembela rezim ini untuk tidak bisa membeli atau mininal menumpang baca UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tipikor khususnya Pasal 12B dan 12C tentang Gratifikasi yang tidak hanya bisa dikenakan pada dirinya sendiri tetapi juga kepada keluarganya?