Tulisan Farouk Abdullah Alwyni *)
TRIBUNNEWS.COM -- Akhir-akhir ini, isu demokratisasi di Indonesia banyak mendapat sorotan. Pangkalnya, banyak kasus yang ditimbulkan oleh tindakan represif yang dilakukan aparat penegak hukum dan sekelompok tertentu yang dekat dengan kekuasaan. Tak pelak, isu kriminalisasi menyeruak ketika sejumlah tokoh yang kritis terhadap pemerintah diproses hukum dengan perlakuan yang berbeda.
Memang, tak bisa dipungkiri iklim demokrasi di tanah air sedang mengalami fluktuasi, bahkan cenderung terjadi penurunan kualitas. Ini setidaknya terekam dari hasil penelitian Badan Pusat Statistik (BPS) tentang Indeks Demokrasi Indonesia (IDI).
Ternyata pada 2016, IDI mengalami kemunduran dari 72,82 menjadi 70,09 atau terperosok 2,73 poin. Misalnya, aspek kebebasan sipil mengalami penurunan 3,85 poin, hak-hak politik 0,53 poin, dan lembaga demokrasi 4,82 poin. Variabel lain yang mengalami penurunan cukup tajam adalah peran partai politik dan birokrasi pemerintah daerah yang masing-masing sebesar 6,80 poin dan 5,60 poin.
Dengan kondisi demikian, tidak mengherankan jika ada pegiat sosial media yang vokal digiring ke bui. Atau mantan wartawan yang menulis artikel soal tokoh penguasa massa lalu teracam penjara karena dianggap mencemarkan nama baik. Sedangkan elite politik yang berstatus tersangka masih tebar pesona bahkan bisa bebas dengan berbagai upaya intervensi hukum.
Secara umum praktik demokrasi yang berjalan saat ini hanya sekadar demokrasi aksesoris, yang penuh symbol-simbol, yang belum menyentuh aspek substantive dari demokrasi itu sendiri. Memang, rakyat terlibat dalam pesta politik baik itu di tingkat daerah atau pilkada, pemilu legislatif dan pilpres.
Tapi esensi dari demokasi ini belum mampu menciptakan model pemerintahan yang lebih melindungi dan menyejahterakan rakyat, ataupun menciptakan birokrasi yang mudah dan melayani, serta penegakan hukum secara adil. Demokrasi asesoris seperti ini hanya menghasilkan elite elite politik yang memperkaya diri sendiri, keluarga dan kelompoknya. Mereka sibuk rebutan jabatan dan kekuasan, bukan komitmen mensejahterakan karena menyadari posisinya sebagai pelayan rakyat.
Dalam konteks negara yang lebih maju, demokrasi akan berkembang pada penghormatan terhadap hak hak sipil, rakyat dilindungi dan mendapat perlakuan sama di depan hukum. Namun yang terjadi saat ini justru mereka yang punya jabatan atau berada di lingkaran kekuasaan mendapat perlakuan istimewa dari aparat ketika tersandung kasus hukum.
Sedangkan rakyat yang kritis terhadap pemerintah lewat media sosial bisa dengan mudahnya ditangkap dan dipidanakan layaknya penjahat kambuhan. Kondisi ini berbahaya dan tidak bisa dibiarkan karena menyangkut kebebasan berpendapat untuk checks and balances terhadap kebijakan pemerintah.
Kemudian, fenomena biasnya antara fungsi kritik dengan pencemaran nama baik menjadi tantangan bagi proses demokrasi di Indonesia. Kritik sosial terhadap pejabat negara atau pihak yang berkuasa ini penting sebagai cerminan dari semangat demokrasi.
Karena, siapapun yang akan dan menjadi pejabat publik harus siap dikritik, bukannya alergi dengan sedikit-sedikit mempidanakan lawan politik dengan menggunakan pasal karet dalam Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Kita semua sepakat bahwa pengkritik pun jangan asbun, mudah menfitnah dan menyebarkan informasi tidak berdasar. Tapi harus jelas pula batasan-batasan-nya, mana itu kritik atau mana itu pencemaran nama baik. Secara bersama-sama perlu dibuat aturan mengenai batasan-batasan ini.
Kondisi demokrasi saat ini semakin kacau ketika penegak hukum sangat represif terhadap pihak-pihak yang bersuara miring terhadap pemerintahan atau pejabat publik. Seyogiayanya, aparat hukum tidak menjadi kaki tangan para elite politik untuk mengkriminalisasi rakyat atau lawan politiknya.
Dan semestinya polisi hadir sebagai entitas professional untuk melindungi, mengayomi, dan melayani rakyat selain juga sebagai fungsi penegakan hukum dan menjaga keamanan serta ketertiban. Begitu juga dengan pihak kejaksaan dan kehakiman. “Ketika penegak hukum menjadi alat kepentingan politik, maka akan mengarah pada oligarki akibat negara dikuasai oleh sekelompok elite politik,” tandas Farouk.
Juga, yang tidak kalah penting lagi adalah mengubah mental masyarakat yang bersifat neo-feodal agar kualitas demokrasi di Indonesia meningkat ke depan dan bisa menjadi negara maju. Artinya, masyarakat tidak perlu terlalu mengelu-elukan lagi seorang pejabat publik dengan memberikan penghormatan yang berlebihan di ruang publik.
Toh, mereka ini pada dasarnya pelayan rakyat. Dalam iklim demokrasi yang sehat, perlakuan tidak diukur dari jabatan atau status sosialnya melainkan nilai kebaikan yang di bawa terhadap masyarakat. Kesetaraan atau prinsip egaliter merupakan hal yang fundamental dalam demokrasi. “Neo feodalisme ini bertolak belakang dengan prinsip demokrasi yang bertumpu pada persamaan dan kesetaraan tanpa memandang status sosial.”
Adalah tanggung jawab bersama untuk meruntuhkan nilai-nilai neo-feodalisme yang masih mengakar kuat di masyarakat, kelompok-kelompok terdidik seperti mahasiswa, kalangan profesional dan kelompok cendekia lainnya perlu lebih berperan aktif dalam merombak kultur neo-feodal ini.
Hal ini, pada akhirnya akan bisa menciptakan demokrasi yang yang lebih subtantif, yakni yang mampu menciptakan birokrasi yang melayani dan profesional, aparat hukum yang juga professional dan imparsial dalam melindungi rakyat dan penegakan keadilan, dan sebuah pemerintahan yang berusaha keras dalam mensejahterakan warganya. Bukan demokrasi aksesoris yang melahirkan pejabat publik atau pemimpin koruptif yang memafaatkan hukum untuk mengkriminalisasi rakyat. (*)
*)Farouk Abdullah Alwyni adalah Chairman, Center for Islamic Studies in Finance, Economics, and Development (CISFED)