News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Psikologi Orang Kalah

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Wakil Gubernur Sandiaga Uno hadiri acara konferensi nasional Parta Gerindra di Sentul, Rabu (18/10/2017).

Oleh: Karyudi Sutajah Putra

TRIBUNNEWS.COM - Berhasil di Amerika, sukses di Austria, dicoba di Indonesia.

Begitu dilantik Presiden Joko Widodo menjadi Gubernur DKI Jakarta, Senin (16/10/2017), Anies Baswedan langsung meluncurkan sentimen bernada rasis, melalui istilah “pribumi” dalam pidato inagurasinya.

Donald Trump berhasil meraih kursi Presiden AS dengan mengusung tema anti-imigran dan anti-Islam dalam kampanye Pilpres 2016.

Bahkan, taipan itu akan membangun tembok di sepanjang perbatasan dengan Meksiko untuk membendung arus imigran, dan melarang muslim dari enam negara memasuki AS.

Sebastian Kurz, yang baru berumur 31 tahun, berhasil menjadi Kanselir Austria termuda setelah Partai Rakyat Austria (OVP) yang dipimpinnya memenangi pemilu parlemen Austria, Minggu (15/10/2017).

Kurz yang konservatif itu adalah sosok yang beraliran keras dalam isu imigrasi dan Islam. Bahkan tahun 2016 saat menjabat Menteri Luar Negeri, Kurz memerintahkan penutupan jalur Balkan yang kerap dipakai imigran memasuki Austria.

Mungkin terinspirasi kampanye Trump dan Kurz, bahkan Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau (43) dan Presiden Perancis Emmanuel Macron (39) yang sama-sama beraliran konservatif, Anies (48) mencoba peruntungan di Indonesia.

Seperti Jokowi pada 2014, Anies pun diyakini membidik kursi RI-1 pada 2019 setelah berhasil menduduki kursi DKI-1. Makanya, pidato perdananya sebagai gubernur bercita rasa capres (calon presiden).

Anies bukannya tanpa sadar isu suku, ras, agama dan antar-golongan (SARA) yang ia tiupkan bakal menabrak aturan, yang kemudian berbuah laporan ke polisi, seperti Instruksi Presiden No. 26 Tahun 1998 yang melarang pemakaian kata pribumi dan non-pribumi dalam penyelenggaraan kebijakan, perencanaan program, hingga penyelenggaraan pemerintah; dan Undang-Undang (UU) No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Tapi mungkin ia sudah terlanjur terinspirasi Trump dan Kurz yang menggunakan isu pribumi sebagai piranti meraih kekuasaan, sehingga aturan pun ditabrak. Pukul dulu, urusan belakangan.

Di sisi lain, mungkin saja ia tidak yakin kinerjanya bersama Sandi akan mampu menyamai apalagi melampaui kinerja Jokowi-Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat, trio gubernur DKI yang ia gantikan.

Isu pribumi hendak ia kapitalisasi menjadi dukungan politik dari pihak-pihak yang selama ini belum mendukungnya, dan mengokohkan modal politik dari pihak-pihak yang selama ini mendukungnya, terutama dari kalangan Islam non-moderat.

Anies coba mencitrakan diri sebagai antitesis dari Jokowi yang selama ini dikenal pro-asing dan Aseng, anti-Islam, meskipun asumsi tersebut tak sepenuhnya benar. Anies yang santun dalam bertutur kata, antitesis dari Jokowi yang ceplas-ceplos.

Benarkah pribumi, kalau masih boleh menggunakan istilah ini, terjajah dan kini baru merdeka dan oleh karena itu harus menjadi tuan di negeri sendiri?

Pidato Anies itu tidak akan dinilai mundur jauh ke belakang bila disampaikan usai Proklamasi Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945.

Benarkah kondisi pribumi Indonesia saat ini selayaknya suku Indian di AS atau Aborigin di Australia? Tentu tidak. Sebab itu, pidato Anies tersebut lebih mewakili psikologi orang-orang kalah.

Anies, salah satunya mungkin karena keteledorannya meloloskan kelebihan anggaran Rp23,5 triliun, yang kemudian dicoret Menteri Keuangan Sri Mulyani; didepak Jokowi dari kursi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Gerindra yang mengusung Anies Baswedan-Sandiaga Uno dalam Pilkada DKI Jakarta 2017, dikalahkan oleh Jokowi pada Pilpres 2014.

Saat mendampigi Megawati Soekarnoputri sebagai cawapres pada Pilpres 2009, Prabowo bersama capres Megawati dikalahkan Susilo Bambang Yudhoyono yang berpasangan dengan Boediono.

Dengan mengusung isu pribumi, Anies bukan hanya hendak mengejawantahkan psikologi orang-orang kalah, melainkan juga menunjukkan keberpihakannya kepada mereka yang termarjinalkan atau terpinggirkan dalam kebijakan pembangunan pemerintahan Jokowi, mungkin minus Jusuf Kalla, karena Wakil Presiden itu dianggap Anies sebagai patron politiknya.

Dalam konteks ini, Anies yang bukan benar-benar pribumi, sekali lagi bila masih boleh menggunakan istilah ini, menciptakan blunder, karena ia sendiri peranakan Arab (mohon maaf tanpa bermaksud mengembuskan isu SARA serta melanggar Inpres No. 26/1998 dan UU No. 40/2008).

Mengutip Herry Tjahjono (Kompas, 6 April 2013), sesuai hukum psikologi orang-orang kalah, sosok yang terkalahkan itu justru akan mendapat magnet simpati dan dukungan moral yang luar biasa dari rakyat.

Psikologi orang kalah pun menunjukkan tuahnya. Rakyat dikuasai kecenderungan bawah sadarnya yang selalu memihak, mendukung, dan memberi simpati kepada figur-figur yang “dianiaya, disakiti, dipinggirkan”. Playing victim pun dimainkan dengan cerdik oleh Anies.

Namun mesti diingat, terlepas apakah Anies akan maju dalam Pilpres 2019 atau tidak, dan akan terpilih atau tidak, gaya kepemimpinan orang kalah tidak akan pernah membuat seorang pemimpin menjadi besar.

Ia hanya akan menjadi pemimpin rata-rata saja. Ada tiga hukum dasar (ke)pemimpin(an) besar.

Pertama, kepemimpinan besar tidak memberi ruang bagi praktik kepemimpinan orang kalah, sebab gaya kepemimpinan orang kalah sangat bertentangan dengan hukum dasar kepemimpinan besar: melayani! Praktis, kepemimpinan melayani adalah menjadi orang yang mengalah, bukan orang yang kalah.

Pemimpin (orang) yang kalah dikuasai sindrom orang kalah, tetapi sesungguhnya ingin menaklukkan orang lain.

Sementara pemimpin (orang) yang mengalah adalah orang yang justru telah menaklukkan dirinya sendiri dan tak pernah merasa perlu menaklukkan orang lain.

Kedua, kepemimpinan besar bukanlah reaktif, melainkan proaktif. Pemimpin reaktif terlalu dikuasai perasaan dan stimulus dari luar.

Sementara pemimpin proaktif lebih independen, merdeka dan bebas serta mendasarkan diri pada nilai-nilai kebaikan, keadilan, dan kebenaran universal dalam memimpin. Ketiga, pemimpin besar selalu mendahulukan orang lain, bukannya minta didahulukan.

Akhirnya, izinkan penulis mengutip ungkapan yang berseliweran di dunia maya. “Penguasa yang meraih kekuasaannya dengan pedang, akan mempertahankan kekuasaannya itu dengan pedang pula.”

Bagaimana dengan Anies-Sandi, ketika mereka meraih kekuasaannya dengan isu SARA, apakah akan mempertahankan kekuasaannya itu dengan isu SARA pula? Wallahua’lam.

Karyudi Sutajah Putra: Pegiat Media, tinggal di Jakarta.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini