TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) mempertanyakan definisi pekerja dan buruh anak di Indonesia.
UNICEF membedakan antara pekerja anak dan buruh anak. Pekerja anak, asalkan pekerjaannya ringan serta tidak mengganggu pendidikan anak dan tidak berbahaya bagi kesehatan anak, bisa dibenarkan. Buruh anak, yang berbeda dengan definisi pekerja anak, adalah terlarang. Yang ekstrim berupa anak bekerja sebagai PSK, anak bekerja di kawasan terpencil, anak bersentuhan dengan zat-zat kimia berbahaya, anak mengoperasikan mesin berbahaya.
Baca: Usulan Konsep Sky Bridge Hingga Pinjam Lahan PT KAI Atasi Kesemrawutan di Tanah Abang
International Labor Organization memberikan kriteria yang menjadi patokan. Anak baru boleh bekerja asalkan telah melewati batas minimal usia wajib pendidikan dasar. Yakni, usia sekitar 12 atau 13 tahun. Pekerjaan harus ringan dan tidak mengorbankan hak-hak dasar anak.Pekerjaan berbahaya jelas tidak boleh dilakukan anak.
Dalam kasus ledakan pabrik mercon, kita pantas berpikir ulang. Apakah mercon adalah barang berbahaya? Jika ya, pada kenyataannya, setiap tahun otoritas daerah rutin menyelenggarakan pesta petasan dan kembang api sebagai acara menyambut tahun baru. Tapi boleh jadi tidak ada otoritas daerah yang dijatuhi sanksi. Betapa pun demikian, LPAI bersyakwasangka bahwa anak-anak yang bekerja di pabrik mercon tersebut memenuhi kriteria sebagai buruh anak. Bahkan buruh anak yang dipekerjakan di bidang terburuk. Acuannya adalah UU Darurat No. 12 Tahun 1951 dan Pasal 187 KUHP.
Tambahan lagi, persoalannya boleh jadi tidak sebatas hitam atau putih. Ini yang perlu didalami. Dalam nilai-nilai lokal, anak bekerja tak jarang justru dianggap sebagai bentuk pendidikan dan pendewasaan anak. Tentu jangan sampai itu dijadikan dalih atas pengabaian hak anak maupun eksploatasi anak.
Masalah kian pelik apabila anak-anak, baik pekerja maupun buruh, tidak mau bersekolah karena tidak lagi tertarik untuk menjalani rutinitas ke sekolah. Ini pemandangan tipikal di Tanah Air. Di mata anak-anak tersebut, sekolah tidak menarik. Ini merupakan masalah tersendiri bagi negara, yakni membenahi dunia pendidikan sekaligus memunculkan insentif tambahan agar anak dan orangtua mereka tetap bergairah menekuni bangku sekolah.
Keengganan pekerja maupun buruh anak bersekolah merupakan potret di mana anak-anak sendiri yang ternyata secara aktif melibatkan diri mereka sendiri dalam situasi bekerja. Bagi mereka, menjalani aktivitas yang menghasilkan uang tidak hanya menyenangkan, tetapi juga merupakan kegiatan mulia. Dengan bekerja, anak-anak merasa telah meringankan bahkan membantu penghidupan keluarga mereka. Anggapan sedemikian rupa tentu menciptakan kondisi yang lebih riskan, di mana tidak bersekolah menjadi prakondisi umum bagi anak-anak untuk dieksploitasi sebagai korban perdagangan orang.
Dalam situasi paling ideal, anak-anak seharusnya bisa fokus bersekolah tanpa bekerja. Pendidikan memang dipandang sebagai jalan keluar terbaik bagi anak untuk memperbaiki taraf kesejahteraan mereka.
Dengan kesejahteraan yang membaik, anak akan mampu keluar dari situasi yang mengharuskan mereka memeras tenaga sebagai pekerja bahkan buruh anak.
Persoalannya, ketika anak-anak terpaksa harus tetap bekerja, atau saat anak-anak sendiri yang bersikeras untuk bekerja, jalan komprominya adalah pemerintah membuka lapangan kerja yang berlokasi sedekat mungkin dengan tempat tinggal anak-anak itu.
Dengan cara itu, realistis untuk berharap bahwa hak-hak dasar anak tetap akan terpenuhi, anak-anak tidak putus sekolah, sekaligus anak-anak tidak harus bermigrasi ke tempat yang jauh. Itu semua pada gilirannya mempersempit resiko anak-anak tersebut menjadi korban perdagangan orang.