Oleh: Alex Palit
Di sini saya tidak ingin mengomentari atau mengulas prihal pelontaran kata “pribumi” oleh Gubernur DKI Jakarta ke 19 – Anies Baswedan – saat pidato perdana di gedung Balai Kota.
Di sini saya juga tidak ingin mendikotomiskan berapa presentase warga Jakarta yang pribumi dan non pribumi yang berdomisili di Jakarta.
Karena bagi saya – yang juga warga Jakarta – bahwa Jakarta adalah pluralis, majemuk, dan bhinneka.
Jakarta sebagai kota metropolitan dengan berbagai ragam predikat yang disandangnya telah menjadikannya tumpuhan harapan bagi warganya, termasuk magnet bagi warga pendatang, yang ingin mengadu hidup, kehidupan dan penghidupan.
Tak ada yang beda, semuanya berpacu dan berlomba agar bisa survive agar tidak tergilas oleh kejamnya Jakarta.
Kalau perlu bagaimana bisa menaklukkan Jakarta yang sering diplesetkan bahwa Jakarta lebih kejam dari ibu tiri.
Hura-hura pesta demokrasi Pilkada DKI Jakarta 2017 telah usai dengan terpilihnya pasangan Anies – Sandi sebagai gubernur dan wakilnya.
Pesta demokrasi ini sekaligus menempatkan Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta ke 19.
Kini saatnya Anies – Sandi bekerja menepati janji-janji kampanyenya, dan warga Jakarta pun menunggu realisasi perwujudan janji-janjinya tersebut.
Di sini saya pun tidak ingin mengurai satu-persatu janji-janji manis apa saja yang pernah disampaikan kala kampanye.
Sebagai warga Jakarta pastinya akan mengawal – bahkan mengejar – janji-janji yang pernah dilontarkan Anies – Sandi.
Sebagai warga Jakarta penyuka musik, penulis buku “God Bless and You: Rock Humanisme”, di sini saya hanya akan mengapresiasi janji-janji Anies – Sandi lewat bahasa nyanyian lagu milik grup rock legendaris God Bless berjudul “Balada Sejuta Wajah”.
Karena lagu ciptaan Ian Antono dan liriknya ditulis Theodore KS ini lebih pas guna merepresentasikan wajah Jakarta, ketimbang Jakarta harus direpresentasikan dalam dikotomi pribumi dan non pribumi.