Muhaimin tidak diangkat menteri karena enggan mengundurkan diri sebagai Ketua Umum PKB dan Wiranto harus menanggalkan jabatan Ketua Umum Hanura sebelum memangku Menko Polhukam 2016.
Etika terkait dengan nilai atau standar penilaian moral terhadap seseorang atau pejabat termasuk ketika ia berjanji yang dalam penerapannya berujung pada penilaian baik, buruk, benar, salah dan tanggungjawab.
Dalam bentuk praksis, etika direfleksikan melalui perbuatan sesuatu “yang ada”, tetapi tidak terbatas pada hal itu saja, melainkan apa yang harus dilakukan.
Demikian halnya dengan perlakuan adil. Konsep adil secara filosofis dan utilitas bukan selalu perlakuan sama tetapi kegunaan dan manfaatnya.
Dalam kaitan menteri rangkap jabatan, Presiden Jokowi akan lebih menekankan apa yang harus dilakukan untuk kepentingan yang lebih besar sembari menimbang dari sisi manfaat dan mudharatnya.
Apakah Khofifah dan Airlangga jika diberhentikan oleh Presiden akan mendatangkan manfaat atau malah sebaliknya.
Dengan sisa masa bakti satu setengah tahun, efektifitas kinerja kementerian seharusnya lebih memfokuskan diri pada penyelesaian program yang belum berjalan dibanding gonta-ganti menteri.
Jika etika sebagai kebiasaan, maka rangkap jabatan menteri sebagai pejabat struktur partai politik sudah ada dalam praktik ketatanegaraan kita sejak pemerintahan Soekarno hingga Soesilo Bambang Yudhoyono.
Pemerintahan sekarang juga masih ada yang rangkap seperti Menko PMK, Puan Maharani --hanya non aktif di PDI-P bukan mundur-- demikian pula dengan Bendahara Umum PKB, Eko Putro Sandjoyo, Menteri PDT dan Transmigrasi.
Supaya tidak menjadi perdebatan diruang publik yang lebih kepentingan politik kekuasaan, ada baiknya larangan menteri rangkap jabatan harus ditegaskan di dalam peraturan perundang-undangan dengan merevisi UU KN.
Bagi menteri yang diangkat bukan kewajibannya mengundurkan diri karena yang mengangkat dan memberhentikannya merupakan kewenangan mutlak Presiden.