Oleh Osmar Tanjung, Sekjen Seknas Jokowi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-Membuka awal tahun 2018, kita dihebohkan dengan muncul kembali pro-kontra reklamasi di Jakarta, larangan cantrang, import beras dan terakhir politik uang menjelang pilkada yang menjadi prahara pada Partai Gerindra, PAN maupun PKS.
Menurut kalender Cina, tahun 2018 adalah tahun dengan shio Anjing Tanah (earth dog). Shio antara kamarahan, teguran, saling mengingatkan, yang pada dasarnya arahnya adalah “menguji kesetiaan.
Saya bukan ahli dalam per-shio-an, namun saya melihat ada dua karakter anjing yang kontradiktif. Jadi, baru dua minggu tahun 2018 dibuka, sudah banyak hal-hal yang dibuka yang menunjukan bangsa ini sedang menghadapi banyak beban dan masalah.
Menurut hemat saya, semua masalah di atas bermuara kepada bagaimana partai politik melalui orang perorang mendapatkan logistikdalam menghidupkan mesin partai. Saya harap ini bukan sebuah tindakan panik dalam menyambut tahun politik.
Menurut catatan saya, ada dua kejadian politik yang bersifat berkelanjutan (surtainable) dan siginifikan, yakni Pilkada di 171 daerah pada tahun 2018 dan Pilpres pada tahun 2019.Pro-kontra reklamasi misalnya, ada beda pendapat antara Luhut Panjaitan dengan Rizal Ramli.
Luhut seorang jenderal yang sukses, sudah lama bergelut di dunia politik, bahkan terakhir dicatat sebagai politisi Golkar yang saat ini menjabat Menko Maritim Kabinet Kerja, pos yang diduduki Rizal Ramli sebelumnya.
Adapun Rizal Ramli adalah seorang aktivis, ekonom yang ber-idiologi kerakyatan, Gus Durian, dan lama menjadi seorang patriot yang berjuang untuk kebenaran.
Luhut Panjaitan jelas ingin reklamasi diteruskan, sedangkan Rizal Ramli menginginkan tidak, karena banyaknya pelanggaran kategori berat di pantai Teluk Jakarta, terutama di Pulau G. Namun keduanya punya kesamaan yakni setia (loyal) kepada pimpinannya yakni Presiden Jokowi.
Apa yang terungkap pada pembuka tahun ini, muaranya semua ke partai-partai politik, muaranya semua soal logistik, baik partai pendukung Presiden Jokowi-JK, maupun partai yang menjadi oposisi pemerintahan. Uang bukan segalanya, tapi partai politik perlu uang untuk menghidupkan mesin partainya di seantero 17.000 pulau di Indonesia.
Ini dapat dimaklumi. Namun mengorbankan sumberdaya alam Indonesia untuk kepentingan politik
jangka pendek partai-partai politik sangatlah tidak arif dan bijaksana. Politik sebagai cara mendapat kekuasaan berbanding lurus dengan cara mendapatkan sumber daya ekonomi.
Tinggal bagaimana cara mendapatkannya. Sejak awal Presiden Jokowi melawan mafia ekonomi di semua sektor. Apa yang dilakukan Jokowi juga dilakukan oleh Rizal Ramli dengan cara yang berbeda karena Rizal Ramli tidak lagi di Kabinet Kerja.
Sebagai Ekonom, Rizal Ramli banyak ide bagaimana cara mencapai pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen, bagaimana caranya swasembada pangan dan membuat mangkuk beras (rice bowl) untuk kedaulatan pangan di Indonesia.
Bagaimana jalan tengah antara pemilik cantrang dengan nelayan tradisional agar rejeki dapat dibagi dan semua masyarakat bisa menikmati hasil jerih payah penenggelaman kapal yang dibuat Susi Pudjiastui dan seterusnya terkait nasib bangsa ini agar tidak
terpecah-pecah.