TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pembentukan holding BUMN pertambangan, seharusnya mengalihkan saham milik pemerintah dari PT Aneka Tambang (Antam) Tbk 65 persen, PT Bukit Asam (PT BA) Tbk 65,02 persen, dan PT Timah Tbk 65 persen, kepada PT Inalum (Persero).
Pada pelaksanaannya pemerintah tidak mengalihkan semua sahamnya dari anak holding. Sisa sebagian kecil saham dipertahankan pemerintah agar statusnya tetap perusahaan BUMN.
Baca: Di Tanggal Cantik, 21 Pengembang Bantu Pemprov DKI Bangun Rumah DP 0 Rupiah
Saham istimewa Dwi Warna pada anak holding itulah yang menjadi ganjalan dalam melakukan konsolidasi aset. Karena jika dipaksakan, akan bertentangan dengan kaidah Peraturan Standar Akuntansi 65 (PSAK 65) dalam neraca laporan keuangan.
Dosen Akuntansi Universitas Padjadjaran, Ersa Tri Wahyuni mengatakan perlu adanya penelusuran.
Dalam hal ini sejauh mana kewenangan pemerintah atas saham istimewa pada anak usaha holding.
"Kita perlu melihat secara kasus perkasus, pemerintah punya hak apa di saham seri A tersebut," ujar Ersa, Kamis (18/1/2018).
Dari sudut pandang akuntansi, Ersa menjelaskan perusahaan induk dapat mengkonsolidasi anak perusahaan bila memiliki pengendalian.
"Yang perlu ditelusuri apakah perusahaan induk masih memiliki pengendalian penuh bila pemerintah memiliki saham seri A dengan hak istimewa seperti yang tertulis dalam PP 72/2016," kata Ersa.
Ersa membandingkan holding tambang BUMN dengan kasus Indosat. Pada saat itu pemerintah juga punya saham seri A tapi Indosat tetap dikonsolidasi oleh perusahaan induknya karena hak pemerintah tidak terlalu luas seperti di PP 72.
Baca: Kebun Bunga Matahari Gairahkan Kembali Wisata Kabupaten Bantul
"Jadi harus dilihat satu satu kasusnya." Kata Ersa.